Pernahkah kita mengasuh seorang anak? Ya, mengasuh
seorang anak pada dasarnya sangat menyenangkan dan membuat kita bahagia. Meski
yang kita asuh bukan anak kita, adik kita, atau keponakan kita, mengasuh akan
tetap menyenangkan. Karena sejatinya, seorang anak adalah Qurrota a'yun
atau perhiasan bagi mata kita. Lalu kenapa ketika kita mengasuh seorang
anak, kita sering merasakan atau
mengeluh pusing dan stres? Ternyata kita belum mampu mengasuh anak itu dengan
baik. Atau kita belum mampu berkomunikasi dengan amazing (menakjubkan).
Saya punya satu murid
yang bagi saya sangat berbeda dengan murid saya yang lain. Murid saya itu
tergolong anak yang aktif luar biasa. Dia termasuk anak tipe kinestetik. Ia
selalu merasa bosan jika berlama-lama di tempat yang sama. Keinginannya adalah
mencoba sesuatu yang lain dan baru. Makanya, ketika anak-anak yang lain sibuk
belajar, ia akan menghilang dari kelas dan bermain ke kelas yang lain. 5 menit
sebelum bel berganti pelajaran berbunyi, ia sudah lebih dahulu keluar kelas
mendahului gurunya. Ketika yang lain sibuk makan dan sholat dhuha, ia justru
sibuk dengan aktifitasnya sendiri. Dan ketika saya berusaha mengingatkannya, ia
selalu bilang "nanti" atau "aku memang bodoh".
Jujur, saya selalu
pusing menanganinya. Mungkin kita juga suka mengeluh, seperti halnya keluhan
ini.
"kenapa ya, anak ini maunya main melulu?"
"kalau diingatkan selalu bilang nanti-nanti, kalau dipaksa malah
marah!"
"sudah diingatkan berkali-kali, tetap saja tidak berubah"
"kalau kita coba berbicara dari hati, ia selalu bilang 'aku memang
bodoh'!"
Ingin rasanya saya
menikmati peran menjadi orang tuanya. Membuatnya merasa nyaman kala bersamaku.
Namun ternyata, untuk menjadi seseorang yang nyaman baginya sangatlah tidak
mudah.
Telisik demi telisik, ternyata gaya komunikasi yang
biasa disampaikan kepadanya ada yang kurang pas. Orang tua sering memakai gaya
pengasuhan otoriter, artinya orang tua terlalu ketat dan disiplin
memperlakukan anak harus patuh sepenuhnya. Akibatnya, alih-alih anak akan patuh
dan menurut, anak jusru merasakan perlakuan itu mengekangnya. Anak akan
merasakan terpenjara, setiap perbuatannya selalu salah, dan hanya orang tua
yang berhak menentukan arah hidupnya. Maka timbullah sikap pesimis seorang anak,
ia akan merasa minder, dan menganggap dirinya selalu salah dan bodoh. Sehingga,
ia akan melakukan hal yang baru entah itu benar atau salah, tujuannya agar
orang lain menghargai dan memuji perbuatannya.
Menghadapi tipe anak yang seperti ini, yang saya lakukan
adalah mencoba membuatnya merasa asyik dan nyaman dengan saya terlebih dahulu. Berdasarkan
pengetahuan yang saya peroleh dari bunda Rani Razak Noe'man, ada beberapa cara
yang biasa saya lakukan, yaitu:
1. Bersabar dan yakin bahwa seorang anak adalah perhiasan dari Allah Swt.
2. Open door (membuka pintu)
komunikasi. Cara ini bertujuan untuk menyibak hambatan psikologis yang
dirasakan oleh si anak. Seorang anak akan merasa dihargai dan dimengerti
perasaanya, ia juga akan merasa kita berada dipihaknya. Tanpa menyuruh ia
bercerita, dengan sendirinya ia akan menumpahkan segala perasaan yang tak bisa
ia tumpahkan pada orang tuanya.
3. Memahami bahasa tubuh. Ternyata dalam berkomunikasi itu dipengaruhi oleh
7% verbal, 38% voice, dan 55% visual. Artinya, bahasa tubuh dan ekspresi wajah
menjadi faktor yang berpengaruh pada kesuksesan komunikasi kita. Cara
menyampaikan pesan sangatlah penting dibandingkan isi pesan yang ingin
disampaikan.
Perhatikan kata-kata ini, "kalau diingatkan selalu bilang nanti-nanti,
kalau dipaksa malah marah!".
Hal ini wajar terjadi, jika bahasa tubuh kita salah. Mungkin kita
mengingatkan si anak dengan membentak atau mengancam, akibatnya si anak akan
terus menunggu sampai ada instruksi keras lagi. Oleh karena itu, agar pesan
yang kita inginkan bisa sampai ke anak, cobalah untuk menyediakan waktu,
menyampaikan dengan tenang, melihat ekspresi dan suasana hati si anak, serta
sampaikan pesan kita dengan disertai penjelasan yang logis. Jangan lupa juga
tampilkan bahasa tubuh kita yang nyaman, seperti mendengarkan, menatap si anak
dengan penuh perhatian, dan bersikap empatik terhadap perasaannya.
Oke, selamat mencoba J
#Metro, 3 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar