Minggu, 03 Mei 2015

Cara Komunikasi yang Asyik dengan Anak



Pernahkah kita mengasuh seorang anak? Ya, mengasuh seorang anak pada dasarnya sangat menyenangkan dan membuat kita bahagia. Meski yang kita asuh bukan anak kita, adik kita, atau keponakan kita, mengasuh akan tetap menyenangkan. Karena sejatinya, seorang anak adalah Qurrota a'yun atau perhiasan bagi mata kita. Lalu kenapa ketika kita mengasuh seorang anak,  kita sering merasakan atau mengeluh pusing dan stres? Ternyata kita belum mampu mengasuh anak itu dengan baik. Atau kita belum mampu berkomunikasi dengan amazing (menakjubkan).
            Saya punya satu murid yang bagi saya sangat berbeda dengan murid saya yang lain. Murid saya itu tergolong anak yang aktif luar biasa. Dia termasuk anak tipe kinestetik. Ia selalu merasa bosan jika berlama-lama di tempat yang sama. Keinginannya adalah mencoba sesuatu yang lain dan baru. Makanya, ketika anak-anak yang lain sibuk belajar, ia akan menghilang dari kelas dan bermain ke kelas yang lain. 5 menit sebelum bel berganti pelajaran berbunyi, ia sudah lebih dahulu keluar kelas mendahului gurunya. Ketika yang lain sibuk makan dan sholat dhuha, ia justru sibuk dengan aktifitasnya sendiri. Dan ketika saya berusaha mengingatkannya, ia selalu bilang "nanti" atau "aku memang bodoh".
            Jujur, saya selalu pusing menanganinya. Mungkin kita juga suka mengeluh, seperti halnya keluhan ini.
"kenapa ya, anak ini maunya main melulu?"              
"kalau diingatkan selalu bilang nanti-nanti, kalau dipaksa malah marah!"
"sudah diingatkan berkali-kali, tetap saja tidak berubah"
"kalau kita coba berbicara dari hati, ia selalu bilang 'aku memang bodoh'!"
            Ingin rasanya saya menikmati peran menjadi orang tuanya. Membuatnya merasa nyaman kala bersamaku. Namun ternyata, untuk menjadi seseorang yang nyaman baginya sangatlah tidak mudah.
Telisik demi telisik, ternyata gaya komunikasi yang biasa disampaikan kepadanya ada yang kurang pas. Orang tua sering memakai gaya pengasuhan otoriter, artinya orang tua terlalu ketat dan disiplin memperlakukan anak harus patuh sepenuhnya. Akibatnya, alih-alih anak akan patuh dan menurut, anak jusru merasakan perlakuan itu mengekangnya. Anak akan merasakan terpenjara, setiap perbuatannya selalu salah, dan hanya orang tua yang berhak menentukan arah hidupnya. Maka timbullah sikap pesimis seorang anak, ia akan merasa minder, dan menganggap dirinya selalu salah dan bodoh. Sehingga, ia akan melakukan hal yang baru entah itu benar atau salah, tujuannya agar orang lain menghargai dan memuji perbuatannya.
Menghadapi tipe anak yang seperti ini, yang saya lakukan adalah mencoba membuatnya merasa asyik dan nyaman dengan saya terlebih dahulu. Berdasarkan pengetahuan yang saya peroleh dari bunda Rani Razak Noe'man, ada beberapa cara yang biasa saya lakukan, yaitu:
1.    Bersabar dan yakin bahwa seorang anak adalah perhiasan dari Allah Swt.
2.    Open door (membuka pintu) komunikasi. Cara ini bertujuan untuk menyibak hambatan psikologis yang dirasakan oleh si anak. Seorang anak akan merasa dihargai dan dimengerti perasaanya, ia juga akan merasa kita berada dipihaknya. Tanpa menyuruh ia bercerita, dengan sendirinya ia akan menumpahkan segala perasaan yang tak bisa ia tumpahkan pada orang tuanya.
3.    Memahami bahasa tubuh. Ternyata dalam berkomunikasi itu dipengaruhi oleh 7% verbal, 38% voice, dan 55% visual. Artinya, bahasa tubuh dan ekspresi wajah menjadi faktor yang berpengaruh pada kesuksesan komunikasi kita. Cara menyampaikan pesan sangatlah penting dibandingkan isi pesan yang ingin disampaikan.
Perhatikan kata-kata ini, "kalau diingatkan selalu bilang nanti-nanti, kalau dipaksa malah marah!".
Hal ini wajar terjadi, jika bahasa tubuh kita salah. Mungkin kita mengingatkan si anak dengan membentak atau mengancam, akibatnya si anak akan terus menunggu sampai ada instruksi keras lagi. Oleh karena itu, agar pesan yang kita inginkan bisa sampai ke anak, cobalah untuk menyediakan waktu, menyampaikan dengan tenang, melihat ekspresi dan suasana hati si anak, serta sampaikan pesan kita dengan disertai penjelasan yang logis. Jangan lupa juga tampilkan bahasa tubuh kita yang nyaman, seperti mendengarkan, menatap si anak dengan penuh perhatian, dan bersikap empatik terhadap perasaannya.
Oke, selamat mencoba J
               
#Metro, 3 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar