Istisqo secara bahasa adalah meminta turun hujan. Secara istilah
yaitu meminta kepada Allah SWT agar menurunkan hujan dengan cara
tertentu ketika dibutuhkan hamba-Nya.
Hukum shalat Istisqo adalah
sunnah muakkadah bagi yang terkena musibah kelangkaan air untuk minum
dan kebutuhan lainnya. Dan dianjurkan bagi kaum muslimin lainnya yang
masih mendapatkan air, sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan.
Jumat, 16 Oktober 2015
Selasa, 09 Juni 2015
BUKAN SILUET MIMPI
Kupandangi buku diary yang barusan kubaca.
Batinku galau!
05/01/2012 16:38:15
"Kamu punya bakat nulis besar, coba kritik apa
yang ada, beri solusi, lalu kirim!"
23/10/2013 18:15:24
"Ayo nulis dek, abang pengen baca tulisan puji!"
Begitulah kalimat yang tertera disana.
Huff, aku hampir gila membaca kata-kata
itu. Seperti terekam dalam memori dan siap meledak jika tak segera
kurealisasikan. Mungkin kata-kata itu memang sederhana, tapi bagiku menulis itu
luar biasa, butuh proses dan perencanaan yang matang. Apalagi otak kiriku cenderung
lebih banyak bekerja, otomatis apa yang akan terjadi padaku harus terencana
dengan matang. Parahnya, karena kebiasaan otak kiriku bekerja, aku selalu
bingung ketika memulai menulis. Setiap kata yang lahir, selalu kupertimbangkan
cocok tidaknya. Karena terlalu banyak pertimbangan, kadang aku lupa dengan alur
dan karakter yang akan kubangun. Alhasil, tulisan mandeg lagi.
Kupandangi lagi tulisan dibuku diary itu,
bagiku kata-katanya sangat bermakna, sayang jika tak kuabadikan. Awalnya aku
hanya menulis pengalaman, mimpi, harapan, tapi ternyata sms pun membuatku
tertarik untuk menuliskannya. Dan kata-kata dalam buku diary itu, sengaja
kutulis dari sms yang masuk ke inbox hp, kutulis lengkap beserta tanggal dan
waktu. Tujuannya hanya satu: Spirit!
Rasanya baru kemarin aku menulis kalimat
itu. Tapi ternyata hampir satu tahun tulisan itu bertengger disana. Dan selama
itu, aku tak pernah menghasilkan tulisan yang berarti.
Oh tidak! Rasanya aku tak kuat lagi. Aku
malu, atas mimpi-mimpiku yang mungkin terlampau tinggi. Merealisasikan mimpi.
Ternyata memang susah sekali.
Rasanya lelah, kusandarkan tubuhku dikursi
tua yang berwarna kecoklatan. Kuambil nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan
secara perlahan. Rasanya sedikit tenang. Kupandangi isi kamarku. Dipojok
sebelah kanan tempatku duduk kini, ada ranjang yang kokoh, asli buatan tangan
ayahku. Diatasnya bantal dan selimut tertata apik. Sebelah kiriku ada lemari
kayu dengan tumpukan buku-buku yang berjajar rapi. Hobiku yang memang suka
membaca, menginspirasiku membuat perpustakaan kecil. Tak ketinggalan, tembok
disekeliling kamarku yang putih itu, penuh terisi gambar-gambar yang ku mau.
Ada bendera kebesaran dari organisasi kampusku, bendera yang sengaja kuambil
untuk kenang-kenangan selama hidupku. Aku tahu, jika teman-teman masuk
kekamarku, mereka pasti protes. Bendera yang biasanya untuk aksi, kini
bertengger dikamarku. Konyol, batinku geli. Lalu dibawahnya, ada peta hidup
selama setahun yang kutempel tepat diatas ranjangku. Disampingnya ada 'pohon
mimpi' untuk harapan yang ingin kucapai. Poster kaligrafi, gambar conan
kesukaanku, dan beberapa jadwal agenda kedepan ikut menghiasi kamarku.
Pandanganku kembali terpaku pada pohon
mimpi. Aku berjalan mendekatinya. Kusentuh pelan, kurasakan tintanya yang kini
hampir memudar. Kuamati dengan seksama. Aku bergetar membacanya.
Penulis produktif, Menulis bersama pengarang best
seller, Menerbitkan karya terbaik, Guru umat, Pandai berbahasa arab, Punya lembaga
belajar, Sukses aktivis dan akademik, Mempersembahkan prestasi terbaik untuk
ayah-bunda, Memiliki toko buku, Beasiswa keluar negeri, Keliling Indonesia
gratis, Jaringan luas, Ipk min 3,00…………
Aku terpaku. Tak kuat membaca selanjutnya.
Baru beberapa yang kulingkari. Itu berarti, baru beberapa yang sudah nyata.
Kurasakan Kristal bening keluar dari
kelopak mataku. Aku tak percaya, aku berada dalam mimpiku, atau mimpi yang
berada dalam diriku?
**dream**
Trrreeettt….trrreeeettt…. hape-ku bergetar.
Bergegas kuraih hape itu. Ada sms ternyata.
Kubuka dengan segera.
23/10/2013 08:51:37
"Hoho belum rezeki abang masuk Koran lagi berarti
harus tulisan puji, dkk yang masuk Koran, sebab Koran mungkin agak bosan dengan
tulisan abang"
Deggg..!!
Kata yang sederhana, tapi memompa
semangatku. Berarti harus opini puji, dkk yang masuk Koran. Berkali-kali
aku terngiang kalimat itu. Aku sadar, aku memang harus menulis, harus kupaksa.
Jatuh bangun kufokuskan diriku untuk menulis. Tapi sayang, begitu aku berada
didepan layar notebook-ku, ide yang awalnya kudapatkan malah menghilang.
Ingin sekali aku berteriak pada tuhan,
bertanya padanya kenapa aku susah menulis. Tapi aku tak kuasa, mungkin aku yang
harus banyak belajar dari-Nya, batinku berbisik.
Sempat terbersit, kalau menulis itu hanya
untuk yang punya bakat. Tapi ternyata, Gola Gong menyadarkan ku lewat bukunya
yang kubaca. Menulis itu bukan bakat, tapi usaha yang terus diasah. Menulis
juga bukan pekerjaan para dewa, karena semua orang juga bisa menulis. Tapi
tetap ada syaratnya, untuk menjadi penulis itu jiwa dan pikiran harus terisi
penuh oleh sumber bacaan dan pengalaman.
"Pu… udah bel! Melamun ya?"
Aku
tergagap. Fitri yang melihatku tergagap jadi memandangiku lekat. Ada nuansa
penasaran pada wajahnya yang putih itu.
"Ada
apa? Apa anak-anak ada yang bandel?" ujarnya kemudian. Fitri adalah
sahabatku yang sama-sama mengajar di sekolah Es-Em-Pe.
Aku
tersenyum. Kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabatku ini memancar dari
balik jilbab biru yang dipakainya.
"Oh..
enggak ada kok, fit. Semua baik-baik saja. Justru aku sekarang yang merindukan
anak-anak, bagiku mereka adalah guru kehidupanku."
Sahabatku itu tersenyum. "Oh, ya sudah
kalau baik-baik saja!" katanya kemudian.
Aku
tersenyum meyakinkannya. Berharap bisa mengurangi beban dihatiku, aku masuk
kelas. Yah kini sekolah, buku pelajaran, murid, silabus dan rpp menjadi bagian
dari aktivitas keseharianku. Sambil berdiri dari tempatku duduk, kuambil
beberapa buku yang kuperlukan. Kusapa beberapa guru yang ada di kantor, sebelum
akhirnya aku berlalu.
Kudapati
kelas dalam keadaan kacau. Suara gaduh teriakan anak-anak terdengar sampai
radius duapuluh meter, bangku tak beraturan, kertas berserakan. Oh, anak-anak
ini.
"Aming
bu, yang membuat kelas begini…"
Agung,
si ketua kelas membela diri. Aming yang tertuduh tidak terima.
"Bukan saya lho bu, teman-teman yang
lain juga."
Kubuat wajahku terlihat setegas mungkin
agar mereka tak berani. Benar, mereka terdiam tapi itu tak berlangsung lama.
Kembali mereka gaduh lagi. Ternyata beginilah menjadi guru, belajar banyak dari
anak-anak. Belajar memberi teladan dan belajar arti kesabaran.
Kelas tetap tak bisa kukendalikan.
Efektivitas waktu dan tenaga. Akhirnya,
Kuhukum mereka. Tanpa terkecuali, kuhukum mereka semua untuk ngepel kelas dan
kamar mandi. Mereka protes keras. Aming shan-shan, menjadi kordinator yang
paling gigih menentang. Suara
khasnya yang cetar membahana, ditambah dengan sikapnya yang sedikit tomboy,
urakan, cuek serta berani membuatku keki tingkat tinggi. Tak hanya sekali, aku sering
dibuatnya kalah. Semua jurus dan metode yang pernah kupelajari dalam mengelola
kelas, seolah-olah tak ada yang manjur untuk menghadapi anak ini. Mungkin ini
salah satu yang membuat diriku kesal padanya. Otomatis namanya pun masuk
kedalam hatiku menjadi salah satu daftar nama siswa bandel dikelas.
Hari ini aku
semakin lelah, merasa kalah tak bisa produktif menulis, dan merasa kalah tak
bisa mengelola kelas.
Ya,
anganku selama ini mungkin hanya jadi mimpi. Sekali lagi hanya siluet mimpi.
**dream**
Sendirian
dikamar, aku menulis seperti orang kesetanan. Perasaan batin yang mengiris tadi
siang membuatku ingin menumpahkan semuanya dalam lembaran kertas kosong. Dalam
sekejap, bidang kertas putih itu terisi penuh oleh tulisan tanganku, lalu
lembar kedua, ketiga lalu seterusnya. Sambil menulis tak jarang air mataku ikut
terselinap, meninggalkan jejak tinta yang mengores kertas. Air mata apa ini,
aku tak perduli.
Kutulis,
tulis, dan terus menulis, sampai akhirnya tangan dan tenagaku melemah.
Taakkk..
Pulpenku jatuh, aku tak kuat lagi
memegangnya.
Badanku bergoyang menahan rasa pilu.
Kutumpahkan semua rasa, sampai aku merasakan keadaan yang lebih baik.
Baru kusadar, aku telah menulis banyak
sekali. Ya, aku benar-benar sudah menulis.
Kurapikan tulisan itu, ku edit sekali lagi.
Lalu kusimpan dalam folder yang kuberi nama "Kepingan Puzzle Jiwaku".
Lalu kusambungkan notebook-ku dengan internet. Kucari media online yang
menerima kiriman tulisan. Ketemu. Lalu terakhir, ku kirim dengan penuh cinta
dan semangat.
Aku hanya yakin. Ini bukan siluet mimpi.
**dream**
“Kukuruyuk...........kukuruyuk...!”
Alarm ku yang kupasang mirip suara ayam berkokok itu berbunyi. Aku
menguap masih menahan kantuk. Kulirik jam diatas kamar tidurku, pukul 03.35. Aku terbangun untuk menunaikan
aktifitas rutinku: Shalat Malam. Berharap apa yang kuinginkan, akan segera
terwujud.
Bayangan ayah,
dengan penampilannya yang sederhana berkelebat. Rasanya baru kemarin ia
menguatkan semangatku, tapi ternyata sudah 8 bulan ia meninggalkanku untuk
selamanya. Wajahnya yang keriput kini seolah tersenyum padaku. Dari lisannya,
samar-samar kudengar ia berbisik, dan hanya ditunjukkan padaku.
Kau pasti bisa
meraih mimpimu, nak. Yakin dan tawakal.
"Belilah
computer, kalau itu bisa menunjangmu lebih banyak menulis"
Komentarnya suatu hari padaku. Padahal, aku
tahu ia tak pernah mengerti tentang tulis menulis. Tapi, ayah selalu menghargai
keinginanku. Di mata beliau, mimpiku adalah mimpinya. Jika beliau ada, seluruh
hidupnya pasti akan dikorbankan untuk diriku.
Aku bersimpuh pada yang maha kuasa sampai waktu subuh tiba.
Tepat
jam 07.00 hapeku berdering. “Tirurit...tirurit”
Hape-ku yang bergetar itu memberikan tanda bahwa ada pesan baru
di inbox. Kuputar badan dan kembali meraih hape itu. Pesan dari abangku.
Alhamdulillah.. abang seneng.
Tulisan adek dimuat hari ini. Semoga jadi awalan yang terus berlanjut dengan
tulisan-tulisan super berikutnya, dek. Barakallah ya..
Hah....,deg....!!
Aku langsung shock membaca sms itu. Ini beneran atau sekedar
keisengan abangku? aku tak
percaya. Aku baca sekali lagi. Hah.....??
ini asli, bukan iseng, kata hatiku meyakinkan diriku sendiri.
Aku tersadar. Ini nyata. Nyata sekali. Dan
ini, bukan siluet mimpi! Hari ini dan 5 tahun lagi.
**selesai**
Selasa, 02 Juni 2015
JOMBLO ITU BAHAGIA, LHO KOK BISA?!
"JOMBLOOOOOO……." Teriak seseorang
tepat di gendang telingaku. Sontak aku loncat dari ranjang tidur dan….
"gubrak!" mendarat di karpet dengan keras. Aku meringis kesakitan.
Aduh… busyet dah siapa nih pagi-pagi udah ngajak berantem. Uuuhhhh, sebeeell!!
Ku kucek-kucek mataku yang masih sipit,
ee..ee.. ada kaki jerapah berdiri tepat di depan mataku. "Hwahahahaha!!"….
Et, suara sapa tuh, terdengar cempreng macam sapi diinjak kodok, eh kebalik ya?
Hehe, macam kodok diinjak sapi. Wah, kayaknya kenal nih dengan suara ini.
Kudongakkan kepalaku keatas, coba menatap bayangan di depanku.
"Abaaaang….." teriakku begitu
tahu bayangan siapa itu. Kakak-ku menongolkan kepalanya dari balik bantal.
"Ha..ha..ha…" semakin puas saja dia
tertawa melihatku kesakitan. Ngeselin kan? Lebih ngeselin lagi dia enggak mau
bantu berdiri, justru tertawa diatas penderitaan orang. Huh! Setelah nggak kuat
menahan pipis, barulah berangsur-angsur tawanya reda. Ia berjalan mendekatiku
yang saat itu nggelosor di lantai.
"Sorry dek bro, hahaha…" enak
sekali dia minta maaf sambil nyengir gitu. Ah, tak kuterima kata maafnya.
Diacak-acak rambutnya yang berjambul itu,
dipasang juga tampang sok imut dan lugunya, dia coba memelas. "Maapin
Abang gantengmu ini yak? Pliiss!" Huh, dikira aku akan luluh, enggak
mempan lah yaw! Lagian bukannya baik-baikin aku, eh masih sempet-sempetnya
memuji diri sendiri. Hap, kubalas dengan tampang jutekku.
"Adikku yang cuantiiikkkk…. Pliiisss, maapin
abangmu ini. Abang ngaku salah dan tolong diterima maafnya. Kalau dikau tak jua
maapin abang, plisss.. tolong ijinkan abangmu ini membaca pantun yang akan
menghiburmu….." kata kakakku tetap dengan tampangnya yang sok lugu itu.
Satu..dua..tiga… Et dah, suara cempreng itu makin menjadi-jadi.
Burung kutilang burung cendrawasih
Induk burung terbang ke selatan
Bertahun-tahun tanpa kabar dan kasih
Macam bang toyib yang tak pulang-pulang
Hupsss, kutahan tawaku yang hampir
keceplosan. Hihihi.. dasar abang gokil, batinku geli. Aku tetap berpura-pura
jaim. Tapi dia tetap dengan pedenya melanjutkan. Jas.. jis.. jus…
Anak ayam turun sepuluh
Mati satu tinggal Sembilan
……… tiba-tiba……….
(Kakakku terbengong macam kesurupan jin
ifrit)…..
"Kenapa bang?" tanyaku kemudian.
"Huhuhu… jadi sedih ayamnya
mati!" katanya dengan wajah ditekuk.
Hwahahaha…. Giliranku yang terbahak-bahak
melihat ekspresi sedihnya itu. Belum puas tertawa, mami berteriak nyaring.
"Poooooo…. Oneeeeeee…" et dah,
kenceng juga mami kalo lagi teriak. Apalagi kalo lagi marah, wah wah suaranya
yang merdu jadi kayak TOA. Sengaja nih mami kalo lagi marah pasti manggil
anak-anaknya rada ngawur. Puji nama yang keren, eh di panggil pooo, wawan juga
nama yang keren eh di panggil juga oneee. Waduh, mami siapa ini? Pura-pura tak
mengakui.
"Ya maaammm…" teriakku dan kakak
berbarengan. Kita lari terbirit-birit menuju sumber suara mami. Begitu sampai
di depan mami, mami justru memberikan gagang telpon rumah. "Nih ada telpon
dari papi…."
"Hallo.. ya pap, ada apa?" Tanya
kakakku.
"Anterin adekmu ke tempat privat. Papi
lagi ada acara di luar, kalo enggak dianterin nanti adekmu malah mampir
kemana-mana.." kata papi diseberang telpon.
"Siap pap, beresss!" kata kakakku
sambil cengengesan. Huh, dia merasa menang. Ada-ada sih papi ini, umur sudah
sweet seventeen juga masih antar jemput. Huh, enggak percaya banget nih sama
anaknya. Padahal aku juga enggak main kemana-mana. Paling kalo lagi bête cuma
main game berjam-jam. Nongkrong. Atau
makan-makan. Dongkol!
Klik. Gagang telepon itu ditutup.
"Hehe.. siap-siap sana adekku sayang.. Tenang hari ini abangmu yang akan
ngganterin. Hehehe…senyum dong. Smileee..!" katanya sambil menjewer pipi
kanan kirinya, bikin aku tambah keki. Kakakku seneng nganterin privat karena
dia bisa ketemu sama kak Yaya, cewek taksirannya. Tapi sayang, dari dulu dia
enggak pernah pacaran karena enggak berani mengungkapkan perasaan. Takut
ditolak katanya. Haha. Jomblo forever bahasa gaulnya. Sama kayak…. aku!
Ehem. Ets, tapi aku jomblo bukan karena enggak laku-laku ya, Cuma enggak pengen
pacaran aja (ngeles, padahal takut sama papi, syuutt.. rahasia kita!).
"Hemmm.." aku hanya bergumam lalu
ngeloyor pergi.
*****
"Yuk
naik…" kata kakakku begitu motor sudah di starter. Wajahnya yang sok manis
itu masih saja cengengesan.
"Hati-hati, nak!" teriak mami
dari dapur. "Ya mam..! " kusahut dengan cepat. Aku langsung nangkring
diatas jok motor. Tanpa banyak ba.. bi.. bu.. motor langsung melaju di jalanan
beraspal.
Dalam perjalanan ke tempat privat, kita
diam beribu bahasa. Entah apa yang ada dalam benak kita masing-masing. Yang
pasti kita lebih tertarik untuk diam.
Siang itu begitu panas, mentari yang
bersinar mungkin sedang bahagia. Dia menampakkan sinarnya dengan leluasa.
Hasilnya, peluh disekujur tubuhku mengalir deras. Angin sepoi-sepoi yang
bertiup tak juga memberikan efek kesejukan. Rasanya masih saja gerah. Ah,
mungkinkah ini pengaruh perasaanku saja. Aku berpikir dalam.
***
Teringat beberapa waktu yang lalu, saat aku
masih memakai seragam putih abu-abu. Aku tergolong cewek supel disekolahku,
ehem.. bukan kepedean tapi ini hasil survey temen-temenku lho! Hehe.. Mereka bilang
aku cewek tomboy, supel, unik, temannya cowok semua, enggak mau pacaran, dan…
ini itu, itu itu apalah pokoknya. Tapi bagiku, ya aku anaknya begini saja. Tak
ada yang aneh pada diriku. Aku bergaul dan berteman biasa saja. Makan juga
biasa. Nongkrong dan main game juga biasa. Cuma aku memang enggak pernah
pacaran. Mungkin ini yang dianggap aneh oleh teman-temanku. Coba kalo begini
siapa yang aneh?
Bicara soal pacar, memang sih aku belum
pernah pacaran. Bukan karena enggak laku-laku ya, tapi memang karena enggak ada
yang mau naksir aku. Ehh.. keceplosan. Hemm, ini masalah panggilan dari hati.
Walaupun bisa dibilang aku punya banyak temen cowok, tak ada satu pun yang jadi
pacarku. Kenapa? Pasti itu pertanyaanmu. Karena aku punya satu prinsip teman:
Tidak akan pacaran sebelum menikah! Eh.. bingung yak? maksudnya begini lho, aku
mau fokus belajar dulu, selain takut sama papiku juga (nyari alasan J).
Pernah
dulu aku sempet suka sama salah satu cowok disekolahku. Dia adalah kakak
tingkatku di SMA. Dia kelas sebelas dan aku kelas sepuluh. Sebut saja namanya
Brams, keren kan namanya? Namanya memang keren, sekeren wajahnya. Dia cakep, bertubuh
tinggi dan atletis, orangnya juga murah senyum. Dibanding diriku sebelas dua
belas lah. Aku juga cantik, putih, tinggi semampai, murah senyum, saking
murahnya jadi banyak tertawa (ini kata mami, pokoknya aku paling cantik
sedunia). Dia bintang kelas jurusan matematika dan aku juga bintang ke-jo-ra-nya
matematika. Alias kejedot ra bisa bisa. Hehe.. ampun deh kalo pelajaran
matematika.
Saking sukanya sama cowok bernama Brams ini, setiap hari aku selalu
nyuri pandang. Setiap pagi nongkrong di samping gerbang nungguin si doi lewat.
Belum abdol kalo pagi itu belum liat dia. Nyari-nyari fotonya sampai
dibela-belain modal banyak: titip kamera sama Ryan untuk fotoin Brams, eh dianya
minta bagian. Kalo pas valentine mondar-mandir bingung nyari coklat, mau
dikasih ke Brams enggak berani eh akhirnya dimakan sendiri. Huh!
Sampai suatu hari yang indah seperti pelangi. Aku dan brams bertemu
tak sengaja di Rumah Karya (enggak sengaja nungguin dia, maksudnya..hihi). Tempat yang mirip perpustakaan ini rasanya seperti rumah salju
begitu kulihat dia. Cie.. grogi euy, akhirnya pura-pura ku ambil
beberapa buah buku dan kubawa ke meja terdekat. Tak sengaja Brams juga melihat
ke arahku. Aku jadi deg-degan. Dari jauh aku kembali memandangnya. Lha dalah, dia juga melihat
kearahku. Wuih, rasanya hati ini ingin meloncat keluar.
“Emm....lagi nyari buku apa?” eh, tanya Brams tiba-tiba didekatku. Lho..lho.. mimpi apa nih semalem disamperin cowok
ganteng.
“Enggg..,lagi nyari…Contoh puisi
buat tugas sastra !” aku mendehem gugup.
Lho? jurusan matematika ada pelajaran seni juga toh? Batinku geli.
“o................” Kami diam. Kami sama-sama salah tingkah.
***
Sejak hari itu, aku pikir akan semakin dekat dengan Brams. Tinggal
mencari moment yang tepat lalu happy ending, dan
semuanya berakhir bahagia. Seperti cerita-cerita dalam film drama (hah,
ngaco!). Tapi pagi ini Dina, Reza, Irwan, Agus, Didik, Ryan dan beberapa temen
cowok yang tak cukup kusebut satu-satu mendekatiku. Wah..wah, kenapa nih mereka
datang barengan gitu, kayak mau demo aja. Wah, mimik muka mereka serius lagi. Sinar mata mereka berkilat-kilat kayak pedang samurai
(hihi.. belum pernah liat sih!).
Wah..wah..ada apa ni? hatiku
makin bertanya-tanya.
“Pooo.....elo udah jadian ya sama
Brams anak matematika?”
Tembak Reza dengan nada ketus.
“Eits....apa-apaan sih pagi-pagi ngajak bercanda kayak gini yah? Wah..wah..nggak
lucu...!” kataku
sambil cengengesan.
“Kita enggak bercanda. Kita serius ...!” kata
Dina
dengan mukanya yang juga ketus.
“Elo beneran udah jadian?”
kini giliran Didik yang memastikan.
“Enggak, pliis deh. kalian nih
apa-apaan sih!”
“Elo
nggak jujur poo, kita kemaren
liat elo
bareng Brams di Rumah Karya. Kalian pacaran kan?” tanya
Dina tajam.
Waduh, mati gue!!
“Emmm Gue cuma naksir Riyan, kita Cuma temenan. Buktinya dia nggak nembak gue dan kita
juga nggak pacaran..” kataku
membela diri.
“Yah syukurlah..” Kata mereka
berbarengan. Bentar bentar maksudnya apa nih mengintrogasi kayak gini?
"Kita enggak papa ya, kalo elo punya pacar dan mengakhiri masa
jomblo elo sekarang. Kita jujur seneng banget. Tap kita enggak rela kalo elo
pacaran sama playboy itu."
WHAAAATTT.........!!
................... Hening.
Dunia seakan berhenti berputar, waktu
seakan tak lagi berdetak, dan
langit tiba-tiba mendung.
“Apa... playboy. BRAMS PLAYBOY??” tanyaku
tak percaya.
Hancur deh semuanya. Aku
menarik nafas resah. Kenapa jatuh cinta sakitnya begini? apa salahku?
Apa aku tak pantas jatuh cinta? Apa aku jatuh cinta sama Brams salah? Kenapa aku
begitu rapuh karena cinta? Kau
tahu kawan sakitnya dimana? (sakitnya tuh disini… #nunjuk perut. LAPER!)
***
Zheeepp.. kakakku mengusap wajahku lalu memencet hidung. Aku
tergagap.
"Heyyy.. udah sampai nih, nglamun aja. haha!" katanya
terkekeh.
Kawan, tangisan pertama tentang
cinta itu menyedihkan. Pertama
kalinya patah hati itu sangat menyakitkan. Itulah cinta. Tidak melulu penuh kebahagiaan. Naif sekali jika berfikir cinta itu penuh dengan warna-warni bunga-bunga.
Ahh, cinta memang tak seperti mimpi dan dongeng indah.
Kalo sekarang hidupmu belum siap untuk menikah, cobalah untuk
menghindari pacaran. Meski hanya untuk mainan, coba-cobaan, atau iseng-isengan,
karena sayang sekali energi cintamu terkorbankan. Bukan untuk menggurui,
mending kita simpan energi cinta kita untuk orang yang benar-benar mencintai
kita nanti, saat waktunya tepat, yakinlah bahwa Allah akan mengirim pangeran
untuk kita dengan cara yang lebih indah. Laki-laki yang baik untuk wanita
yang baik, dan laki-laki yang buruk untuk wanita yang buruk.
Menjadi jomblo itu bahagia. Ada 2 kebahagiaan yang kita rasakan.
Bahagia pertama itu di dunia. Kita tidak terikat oleh sesuatu yang belum pasti,
jadi kita bisa enjoy dengan apapun yang kita mau. Bahagia kedua, itu di
akhirat. Kenapa? Karena tak akan dicambuk malaikat karena zina pacaran, et
maksudnya pacaran itu seperti zina. Yaitu zina mata, zina kaki, zina mulut, dan
zina seluruh anggota tubuh. Ihh, ngeri. Nauzubillah !
Aku beringsut turun.
"BYEE.." kataku sambil berlari.
***
Langganan:
Postingan (Atom)