Kupandangi buku diary yang barusan kubaca.
Batinku galau!
05/01/2012 16:38:15
"Kamu punya bakat nulis besar, coba kritik apa
yang ada, beri solusi, lalu kirim!"
23/10/2013 18:15:24
"Ayo nulis dek, abang pengen baca tulisan puji!"
Begitulah kalimat yang tertera disana.
Huff, aku hampir gila membaca kata-kata
itu. Seperti terekam dalam memori dan siap meledak jika tak segera
kurealisasikan. Mungkin kata-kata itu memang sederhana, tapi bagiku menulis itu
luar biasa, butuh proses dan perencanaan yang matang. Apalagi otak kiriku cenderung
lebih banyak bekerja, otomatis apa yang akan terjadi padaku harus terencana
dengan matang. Parahnya, karena kebiasaan otak kiriku bekerja, aku selalu
bingung ketika memulai menulis. Setiap kata yang lahir, selalu kupertimbangkan
cocok tidaknya. Karena terlalu banyak pertimbangan, kadang aku lupa dengan alur
dan karakter yang akan kubangun. Alhasil, tulisan mandeg lagi.
Kupandangi lagi tulisan dibuku diary itu,
bagiku kata-katanya sangat bermakna, sayang jika tak kuabadikan. Awalnya aku
hanya menulis pengalaman, mimpi, harapan, tapi ternyata sms pun membuatku
tertarik untuk menuliskannya. Dan kata-kata dalam buku diary itu, sengaja
kutulis dari sms yang masuk ke inbox hp, kutulis lengkap beserta tanggal dan
waktu. Tujuannya hanya satu: Spirit!
Rasanya baru kemarin aku menulis kalimat
itu. Tapi ternyata hampir satu tahun tulisan itu bertengger disana. Dan selama
itu, aku tak pernah menghasilkan tulisan yang berarti.
Oh tidak! Rasanya aku tak kuat lagi. Aku
malu, atas mimpi-mimpiku yang mungkin terlampau tinggi. Merealisasikan mimpi.
Ternyata memang susah sekali.
Rasanya lelah, kusandarkan tubuhku dikursi
tua yang berwarna kecoklatan. Kuambil nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan
secara perlahan. Rasanya sedikit tenang. Kupandangi isi kamarku. Dipojok
sebelah kanan tempatku duduk kini, ada ranjang yang kokoh, asli buatan tangan
ayahku. Diatasnya bantal dan selimut tertata apik. Sebelah kiriku ada lemari
kayu dengan tumpukan buku-buku yang berjajar rapi. Hobiku yang memang suka
membaca, menginspirasiku membuat perpustakaan kecil. Tak ketinggalan, tembok
disekeliling kamarku yang putih itu, penuh terisi gambar-gambar yang ku mau.
Ada bendera kebesaran dari organisasi kampusku, bendera yang sengaja kuambil
untuk kenang-kenangan selama hidupku. Aku tahu, jika teman-teman masuk
kekamarku, mereka pasti protes. Bendera yang biasanya untuk aksi, kini
bertengger dikamarku. Konyol, batinku geli. Lalu dibawahnya, ada peta hidup
selama setahun yang kutempel tepat diatas ranjangku. Disampingnya ada 'pohon
mimpi' untuk harapan yang ingin kucapai. Poster kaligrafi, gambar conan
kesukaanku, dan beberapa jadwal agenda kedepan ikut menghiasi kamarku.
Pandanganku kembali terpaku pada pohon
mimpi. Aku berjalan mendekatinya. Kusentuh pelan, kurasakan tintanya yang kini
hampir memudar. Kuamati dengan seksama. Aku bergetar membacanya.
Penulis produktif, Menulis bersama pengarang best
seller, Menerbitkan karya terbaik, Guru umat, Pandai berbahasa arab, Punya lembaga
belajar, Sukses aktivis dan akademik, Mempersembahkan prestasi terbaik untuk
ayah-bunda, Memiliki toko buku, Beasiswa keluar negeri, Keliling Indonesia
gratis, Jaringan luas, Ipk min 3,00…………
Aku terpaku. Tak kuat membaca selanjutnya.
Baru beberapa yang kulingkari. Itu berarti, baru beberapa yang sudah nyata.
Kurasakan Kristal bening keluar dari
kelopak mataku. Aku tak percaya, aku berada dalam mimpiku, atau mimpi yang
berada dalam diriku?
**dream**
Trrreeettt….trrreeeettt…. hape-ku bergetar.
Bergegas kuraih hape itu. Ada sms ternyata.
Kubuka dengan segera.
23/10/2013 08:51:37
"Hoho belum rezeki abang masuk Koran lagi berarti
harus tulisan puji, dkk yang masuk Koran, sebab Koran mungkin agak bosan dengan
tulisan abang"
Deggg..!!
Kata yang sederhana, tapi memompa
semangatku. Berarti harus opini puji, dkk yang masuk Koran. Berkali-kali
aku terngiang kalimat itu. Aku sadar, aku memang harus menulis, harus kupaksa.
Jatuh bangun kufokuskan diriku untuk menulis. Tapi sayang, begitu aku berada
didepan layar notebook-ku, ide yang awalnya kudapatkan malah menghilang.
Ingin sekali aku berteriak pada tuhan,
bertanya padanya kenapa aku susah menulis. Tapi aku tak kuasa, mungkin aku yang
harus banyak belajar dari-Nya, batinku berbisik.
Sempat terbersit, kalau menulis itu hanya
untuk yang punya bakat. Tapi ternyata, Gola Gong menyadarkan ku lewat bukunya
yang kubaca. Menulis itu bukan bakat, tapi usaha yang terus diasah. Menulis
juga bukan pekerjaan para dewa, karena semua orang juga bisa menulis. Tapi
tetap ada syaratnya, untuk menjadi penulis itu jiwa dan pikiran harus terisi
penuh oleh sumber bacaan dan pengalaman.
"Pu… udah bel! Melamun ya?"
Aku
tergagap. Fitri yang melihatku tergagap jadi memandangiku lekat. Ada nuansa
penasaran pada wajahnya yang putih itu.
"Ada
apa? Apa anak-anak ada yang bandel?" ujarnya kemudian. Fitri adalah
sahabatku yang sama-sama mengajar di sekolah Es-Em-Pe.
Aku
tersenyum. Kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabatku ini memancar dari
balik jilbab biru yang dipakainya.
"Oh..
enggak ada kok, fit. Semua baik-baik saja. Justru aku sekarang yang merindukan
anak-anak, bagiku mereka adalah guru kehidupanku."
Sahabatku itu tersenyum. "Oh, ya sudah
kalau baik-baik saja!" katanya kemudian.
Aku
tersenyum meyakinkannya. Berharap bisa mengurangi beban dihatiku, aku masuk
kelas. Yah kini sekolah, buku pelajaran, murid, silabus dan rpp menjadi bagian
dari aktivitas keseharianku. Sambil berdiri dari tempatku duduk, kuambil
beberapa buku yang kuperlukan. Kusapa beberapa guru yang ada di kantor, sebelum
akhirnya aku berlalu.
Kudapati
kelas dalam keadaan kacau. Suara gaduh teriakan anak-anak terdengar sampai
radius duapuluh meter, bangku tak beraturan, kertas berserakan. Oh, anak-anak
ini.
"Aming
bu, yang membuat kelas begini…"
Agung,
si ketua kelas membela diri. Aming yang tertuduh tidak terima.
"Bukan saya lho bu, teman-teman yang
lain juga."
Kubuat wajahku terlihat setegas mungkin
agar mereka tak berani. Benar, mereka terdiam tapi itu tak berlangsung lama.
Kembali mereka gaduh lagi. Ternyata beginilah menjadi guru, belajar banyak dari
anak-anak. Belajar memberi teladan dan belajar arti kesabaran.
Kelas tetap tak bisa kukendalikan.
Efektivitas waktu dan tenaga. Akhirnya,
Kuhukum mereka. Tanpa terkecuali, kuhukum mereka semua untuk ngepel kelas dan
kamar mandi. Mereka protes keras. Aming shan-shan, menjadi kordinator yang
paling gigih menentang. Suara
khasnya yang cetar membahana, ditambah dengan sikapnya yang sedikit tomboy,
urakan, cuek serta berani membuatku keki tingkat tinggi. Tak hanya sekali, aku sering
dibuatnya kalah. Semua jurus dan metode yang pernah kupelajari dalam mengelola
kelas, seolah-olah tak ada yang manjur untuk menghadapi anak ini. Mungkin ini
salah satu yang membuat diriku kesal padanya. Otomatis namanya pun masuk
kedalam hatiku menjadi salah satu daftar nama siswa bandel dikelas.
Hari ini aku
semakin lelah, merasa kalah tak bisa produktif menulis, dan merasa kalah tak
bisa mengelola kelas.
Ya,
anganku selama ini mungkin hanya jadi mimpi. Sekali lagi hanya siluet mimpi.
**dream**
Sendirian
dikamar, aku menulis seperti orang kesetanan. Perasaan batin yang mengiris tadi
siang membuatku ingin menumpahkan semuanya dalam lembaran kertas kosong. Dalam
sekejap, bidang kertas putih itu terisi penuh oleh tulisan tanganku, lalu
lembar kedua, ketiga lalu seterusnya. Sambil menulis tak jarang air mataku ikut
terselinap, meninggalkan jejak tinta yang mengores kertas. Air mata apa ini,
aku tak perduli.
Kutulis,
tulis, dan terus menulis, sampai akhirnya tangan dan tenagaku melemah.
Taakkk..
Pulpenku jatuh, aku tak kuat lagi
memegangnya.
Badanku bergoyang menahan rasa pilu.
Kutumpahkan semua rasa, sampai aku merasakan keadaan yang lebih baik.
Baru kusadar, aku telah menulis banyak
sekali. Ya, aku benar-benar sudah menulis.
Kurapikan tulisan itu, ku edit sekali lagi.
Lalu kusimpan dalam folder yang kuberi nama "Kepingan Puzzle Jiwaku".
Lalu kusambungkan notebook-ku dengan internet. Kucari media online yang
menerima kiriman tulisan. Ketemu. Lalu terakhir, ku kirim dengan penuh cinta
dan semangat.
Aku hanya yakin. Ini bukan siluet mimpi.
**dream**
“Kukuruyuk...........kukuruyuk...!”
Alarm ku yang kupasang mirip suara ayam berkokok itu berbunyi. Aku
menguap masih menahan kantuk. Kulirik jam diatas kamar tidurku, pukul 03.35. Aku terbangun untuk menunaikan
aktifitas rutinku: Shalat Malam. Berharap apa yang kuinginkan, akan segera
terwujud.
Bayangan ayah,
dengan penampilannya yang sederhana berkelebat. Rasanya baru kemarin ia
menguatkan semangatku, tapi ternyata sudah 8 bulan ia meninggalkanku untuk
selamanya. Wajahnya yang keriput kini seolah tersenyum padaku. Dari lisannya,
samar-samar kudengar ia berbisik, dan hanya ditunjukkan padaku.
Kau pasti bisa
meraih mimpimu, nak. Yakin dan tawakal.
"Belilah
computer, kalau itu bisa menunjangmu lebih banyak menulis"
Komentarnya suatu hari padaku. Padahal, aku
tahu ia tak pernah mengerti tentang tulis menulis. Tapi, ayah selalu menghargai
keinginanku. Di mata beliau, mimpiku adalah mimpinya. Jika beliau ada, seluruh
hidupnya pasti akan dikorbankan untuk diriku.
Aku bersimpuh pada yang maha kuasa sampai waktu subuh tiba.
Tepat
jam 07.00 hapeku berdering. “Tirurit...tirurit”
Hape-ku yang bergetar itu memberikan tanda bahwa ada pesan baru
di inbox. Kuputar badan dan kembali meraih hape itu. Pesan dari abangku.
Alhamdulillah.. abang seneng.
Tulisan adek dimuat hari ini. Semoga jadi awalan yang terus berlanjut dengan
tulisan-tulisan super berikutnya, dek. Barakallah ya..
Hah....,deg....!!
Aku langsung shock membaca sms itu. Ini beneran atau sekedar
keisengan abangku? aku tak
percaya. Aku baca sekali lagi. Hah.....??
ini asli, bukan iseng, kata hatiku meyakinkan diriku sendiri.
Aku tersadar. Ini nyata. Nyata sekali. Dan
ini, bukan siluet mimpi! Hari ini dan 5 tahun lagi.
**selesai**