Mendidik dengan Hati
Kukkuruyyukkk…!!!
Suara kokok ayam bersahut-sahutan menandakan hari sudah pagi. Aku
tergagap. "Subhanallah, sudah pagi.." batinku. Pikirku langsung
tertuju pada tanggung jawabku. Mengajar. Tidurku yang larut malam karena
membuat bahan ajar, berakibat pada bangun tidurku agak kesiangan. Aku segera
bangun dan menyiapkan semuanya. Aku tak ingin menjumpai murid-muridku dalam
keadaan tidak siap. Tak hanya siap materi, aku harus siap kasih sayang dan
senyuman. Orang bilang ini mudah, tapi coba kita lihat prakteknya. Tak semua
guru bisa belajar mendidik lewat hatinya, bahkan guru yang sudah mengajar
bertahun-tahun sekalipun.
Tepat pukul setengah tujuh pagi kupacu motor bututku di jalanan
beraspal. Seperti biasa, SDIT Wahdatul Ummah yang letaknya di Kota Metro,
menjadi tujuan utamaku. Sekolah dengan area sempit dan bertingkat tiga ini
adalah tempatku mengabdi di tiga bulan terakhir ini. Yah, aku terbilang masih
guru baru disini. Namun, kedudukanku sebagai guru baru tidak membuatku merasa minder.
Sejak mengabdi di SDIT ini, aku mulai memantapkan diri menekuni
profesiku. Sebuah tanggung jawab besar dan berat, satu persatu mulai kuangkat,
bahkan tiga perempat waktuku habis di sekolah ini. Menjadi wali kelas, menjadi
guru mata pelajaran, menjadi pembina ekskul dan mentoring, semuanya menjadi
tantangan tersendiri buatku.
Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ditempat mengajarku. Begitu
sampai disekolah, anak-anak kelas 1 yang ada disekitar gerbang masuk langsung
memanggil namaku. "Bu Puji……, Bu Puji……" teriak mereka dengan wajah
berseri-seri. Oh indahnya, ada yang bergetar di hati kala mendengar mereka
menyebut namaku. Tak kalah semangat dari anak-anak itu, kujawab sapaan mereka
dengan bahasa resmi mengajarku, yaitu bahasa arab. "Shobahul Khoir..!"
serempak mereka menjawab dengan malu-malu, "Shobahun nuuurr!"
"Anak-anak kelas 1 sudah kenal dengan Ibu ya?" Tanya Bu Yayi yang
menyalamiku di gerbang masuk.
"Iya Bu, kan saya mengajar bahasa arab di kelas 1," jawabku
sambil tersenyum.
"Oh iya, Bu," jawabnya kemudian. Aku dan Pak Feri adalah satu-satunya
guru mata pelajaran yang mengajar di kelas 1. Pak Feri sebagai guru olahraga
dan aku sebagai guru bahasa arab. Jadi wajar ketika mereka melihatku atau
melihat Pak Feri, mereka akan bersemangat memanggil nama kami. Kadang aku dan
guru kelas mereka terheran-heran, karena anak-anak kelas 1 An-Naba memanggilku
dengan nama "Bu pijet-pijet". Panggilan godaan mereka untukku
ini selalu membuatku tertawa. Yang lebih membuatku bahagia adalah ketika aku
mengajar bahasa arab di kelas 1 An-Nazi'at, karena begitu aku masuk kelas,
mereka akan bersorak gembira menyambut kedatanganku. Rasa capek yang kadang
kurasakan, seketika langsung sirna begitu melihat semangat dan senyum mereka.
Tepat pukul 07:15 WIB bel masuk berbunyi. Anak-anak segera berbaris rapi
membaca ikrar dan janji pelajar SDIT Wahdatul Ummah. Setelah itu mereka
bersalaman dengan wali kelas yang menyambut di depan pintu kelas masing-masing.
Aku yang menjadi wali kelas 4 Al-Mulk juga berdiri disamping pintu
kelas, membariskan mereka yang belum tertib, mengecek kondisi kelas, mengecek
kehadiran mereka, juga menerima keluh kesah cerita yang mereka rasakan
sehari-hari.
"Ibu, masa hari ini Bima nggak piket," teriak Hilmi. "Piket
yeeee… kemarin!" jawab Bima tidak mau kalah.
"Ibu, lihat Timnas tadi malam enggak Bu? masa kalah, Bu.. Evan
dimas jagoan Bu Puji kalah" kata Habib menggebu-gebu. "Iya, masak
kalah, Bu…" sahut Iqbal juga tak mau kalah.
"Ibu, kemarin lihat tiban enggak, Bu?" tanya Fauzia
bersemangat. "Tiban itu apa, Fau?" tanyaku penasaran.
"Itu lho Bu, adat orang jawa yang minta turun hujan," jawab Fauzia.
Masih banyak lagi celotehan anak-anak begitu menyambut kedatanganku di kelas.
Kalau sudah begini, kelas pasti ramai akibat celotehan mereka. Dan aku harus
bisa bertindak bijaksana menengahi dan menjawab setiap rasa penasaran mereka. Sebagai
wali kelas, tak hanya celotehan atau masalah kecil seperti itu yang kuhadapi.
Beberapa ulah mereka kadang membuat emosiku menjadi tingkat tinggi.
Hari itu benar-benar menjadi hari yang berbeda. Siang jam setengah 1,
kala rasa capek dan emosiku benar-benar memuncak, aku harus dihadiahi sesuatu
yang tidak kusuka. Ya, aku baru selesai mengajar dan berniat ingin istirahat
sebentar karena capek, Alma murid kelasku lari tergopoh-gopoh menemuiku. Dan
apa yang terjadi?
"Ibu, kelas kita baunya amis
lho Bu…" katanya terengah-engah.
"Kenapa?" tanyaku santai.
Aku yang kelelahan tak lagi berniat menanggapi pengaduannya.
"Syafiq, Dzakwan, sama Alfi
lempar-lemparan telor Bu. Kelas kita jadi bau banget, pengen muntah pokoknya Bu.."
katanya menggebu-gebu.
Aku yang mendengar pengaduannya menjadi geram. Segera aku beranjak dari
tempat dudukku, tanpa menghiraukan lagi rasa capek tadi, aku berjalan menuju
kelas dengan amarah yang hampir di ubun-ubun. Benar saja, begitu sampai dikelas
baunya sudah luar biasa amis. Kertas-kertas dan wadah makanan berserakan di
lantai. Kucoba untuk menahan amarah. Kusuruh mereka semua masuk kelas, mereka
protes keras karena tidak tahan bau. Aku tak perduli dengan protes mereka, itulah
konsekuensi yang harus mereka pertanggungjawabkan.
Setelah mereka duduk, mereka tak lagi bersuara atau protes. Mereka
bungkam melihat wajahku yang merah padam. Aku minta alasan mereka kenapa
melakukan itu. Kutanya satu persatu, 3 orang muridku yang merasa bersalah tadi
tertunduk pilu. Mereka menunduk berkaca-kaca. Aku bukan seorang guru yang tega
menghukum mereka begitu saja, apalagi dengan hukuman fisik. Aku ingin mereka
jera bukan karena beratnya hukuman yang mereka terima, tetapi kesadaran mereka
sendiri yang membuatnya berubah.
Sejenak setelah emosiku dan mereka mereda, kuminta mereka semua untuk
mengepel kelas. Butuh waktu 30 menit menunggu kelas kembali bersih. Setelah mereka
kembali duduk, aku meminta mereka untuk beristighfar dan membuat surat
pernyataan penyesalan.
"Bu puji, saya tidak akan mengulangi kesalahan yang diperbuat oleh
saya, maupun teman-teman. Saya akan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi.
Maukah Bu Puji memaafkan kesalahan kita semua?" Ttd Syifa.
"Saya berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi. Dan saya anggap
ini yang pertama dan terakhir kalinya. Jika mengulanginya lagi saya akan
istighfar 100x." Ttd. Nabila.
"Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang tidak baik,
kalau saya mengulanginya saya akan: Istighfar 50x, membersihkan toilet, puasa
sunah 3x, dihukum guru dan teman-teman." Ttd. Yaya.
"Saya tidak akan mengulangi lagi, padahal saya tidak melempar telor."
Ttd. Atawi.
"Saya minta maaf sekali pada bu puji dan guru SDIT Wahdatul Ummah.
Saya sangat menyesal karena sudah membuat bu puji sedih. Saya tahu hati bu puji
sedih karena melihat siswa-siswi bu puji sangat nakal dan bandel. Saya tau
perasaan bu puji sekarang masih sedih kan, maaf ya bu kalau saya
nakal/bandel!" Ttd Diva.
Setiap kali membaca surat pernyataan mereka, aku tersenyum sendiri.
Unik, lucu, dan manjur. Terbukti setelah mereka menulis surat itu, mereka bisa
bersikap lebih baik, bahkan 1 bulan setelah kejadian tersebut tak ada kekacauan
yang terjadi.
*****
Selain menjadi walikelas dan guru bahasa arab kelas 1, aku juga menjadi
guru pendidikan agama dan budi pekerti kelas 4 dan 5. Butuh persiapan matang
dan kreatif untuk mengajar anak-anak kelas atas ini. Beberapa diantara
anak-anak itu ada yang susah menerima pelajaran. Jadi, kolaborasi pelajaran
kreatif dengan kurikulum 2013 sangat dibutuhkan.
"Assalamu'alaikum…." sapaku pada anak-anak kelas 4 Al-Qolam,
ketika aku masuk kelas. Senyum mengembangku seketika berubah saat melihat
mereka justru asyik bermain stik.
"Hemmm.. hemmm.." Aku menggelengkan kepala. "Ayo silahkan
kembali ketempat duduk masing-masing. Azizi, apa kabar? Caesar, apa kabar?
Abang Najmi apa kabar?" kusapa khusus untuk ketiga anak ini. Aku yakin
sapaan khusus bisa menarik mereka suka pada pelajaranku.
"Oke.. hari ini, kita akan belajar PAI di luar kelas, kita akan
belajar mengenal Allah melalui alam semesta," kataku bersemangat.
"Horeeee.." teriak mereka girang. Kelas kembali berubah gaduh
karena kegembiraan mereka.
"Kita ke sawah ya, Bu?" Teriak Caesar. Aku tersenyum
mengangguk.
"Sekarang tolong siapkan alat tulis seperlunya saja, tidak usah
bawa tas. Boleh bawa air minum kalau haus. Dan.. tolong perhatikan! Ada beberapa
hal yang harus kita lakukan. Pertama, harus menjaga adab-adab kita kepada orang
yang kita temui di jalan. Juga menjaga adab-adab kita pada hewan dan tumbuhan.
Kedua, berjalan di lajur kiri dan tidak main-main di jalan. Ketiga, sebelum
berangkat kita berdo'a dulu. Yuk, baca basmalah dan Al-Fatihah bersama…" Bla..Bla..Bla..
Hamparan sawah yang membentang, kicauan burung-burung yang berdendang,
serta semilir angin yang menyejukkan, membuat pembelajaran diluar kelas
benar-benar menyenangkan.
"Adanya alam semesta, termasuk bumi yang kita
huni sekarang ini adalah bukti adanya Allah. Ada makhuk hidup dan ada benda
mati. Anak-anak, Semua itu siapa yang menciptakan? Iya, Allah.. Nah, sekarang
silahkan tulis makhluk hidup dan benda-benda yang kalian lihat sesuai dengan
kategori jenisnya masing-masing…"
Anak-anak begitu bersemangat belajar di sawah. Mereka bersegera
mengambil alat tulis. Ya, mereka seperti burung yang terbebas dari sangkarnya.
Keceriaan itu terpancar dari raut muka polos mereka. 2 jam pelajaran yang
biasanya terasa lama, kini rasanya begitu cepat. Bahkan ketika ku ajak pulang,
anak-anak justru ingin tetap belajar.
*****
Braaaakkkkk…..!!!!!
Tumpukan kertas-kertas jatuh berserakan dari atas meja tak jauh dari
tempatku duduk. Semuanya berhamburan memenuhi lantai putih yang ada di pojok
perpustakaan sekolahku. Aku terbengong. Kulihat mulai dari lembaran kertas
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), silabus, materi pembelajaran hingga
soal-soal latihan semuanya berantakan menjadi satu. Ups, ternyata ada bu yeni
disitu. Kuperhatikan raut mukanya, beliau tampak begitu kesal. Dengan hati yang
masgul ia pungut lembaran kertas itu satu persatu. Aku yang kebetulan ada
disampingnya justru tertawa.
"Kenapa bu, kok kelihatan Bete gitu?" Tanyaku padanya.
"Kesel bu.. capek, pusing saya!" jawabnya sekenanya.
"Kenapa, masalah anak-anak ya?" Aku penasaran.
Ia hanya mengangkat bahu dengan raut muka yang makin cemberut. Aku yang
melihat ekspresinya begitu justru tertawa. Bukan bermaksud menggodanya, akan
tetapi aku hanya merasa miris melihatnya terpuruk dengan rasa pesimisnya. Ya,
sejak pertama kali bertemu dengannya, yang kudengar darinya adalah rasa pesimis
yang bertumpuk-tumpuk. "Si ini memang anaknya begitu bu, sudah
diingatkan berkali-kali masih tetap sama, pusing saya bu" atau katanya
"Kelas saya itu paling parah, anaknya bandel-bandel dan cuek." Atau katanya "Ya gimana lho bu, tugas
banyaknya segini puyeng saya mau dikerjakan yang mana dulu," Itulah
sebagian kata-kata mengeluhnya yang sering kudengar.
"Sabar bu, proses mengajar itu luar biasa. Rasakan nikmatnya itu
pelan-pelan seperti makan permen. Maka semakin lama kita merasakannya akan
semakin nikmat saja."
Beliau tersenyum simpul. Aku pun ikut tersenyum. Aku yakin, bu yeni yang
sudah lama mengajar pasti punya pengalaman yang lebih dariku, hanya saja
praktek di lapangan itu yang susah dan menuntut kesabaran yang ekstra.
Trrrruuutttt… (Hape-ku tiba-tiba
bergetar)
Kuraih hape
yang bunyi barusan dari saku bajuku.
From: ibu iqbal
Bu, tolong sampaikan ke iqbal hari ini saya tidak bisa
menjemputnya, jadi iqbal pulang bareng azizi. terimakasih
Aku kembali tersenyum. Hemmm, ternyata dari ibunya iqbal, wali murid
siswa kelasku. Kututup sms itu sebelum akhirnya kubalas dengan santun "Iya
bu". Interaksi yang coba kubangun dengan wali murid beberapa minggu lalu
kini berbuah. Aku dan wali murid kini saling menjalin komunikasi. Bahkan
beberapa dari mereka kadang menceritakan permasalahan anak-anaknya untuk
sama-sama mencari jalan keluar.
23 tahun kini usiaku, aku belajar untuk semakin dewasa. Aku merenung.
Aku masih begitu ingat 13 tahun lalu, ketika orang tuaku bertanya apa
cita-citaku. Aku menjawabnya dengan cepat: Guru. Tanpa kutahu apa makna
sebenarnya dari kata itu, aku menjawabnya dengan cepat. Ya, secepat waktu ini
membawaku terjun ke dunia itu. Dunia orang dewasa, aku menyebutnya. Membimbing,
mengajar, dan mendidik. Aku tersenyum mengingat semua itu. Bu yeni yang
melihatku tiba-tiba tersenyum lantas terheran-heran.
"kenapa bu kok senyum-senyum sendiri?"
"Ini bu, wali murid saya ada yang pesan sesuatu untuk disampaikan
kepada anaknya". Jawabku masih tetap tersenyum.
"ibu enak ya, wali murid pada perduli dengan anaknya. Dikelasku
boro-boro bu, buku penghubung saja enggak pernah diisi." Katanya
membandingkan lagi.
"Sepertinya kita memang harus mulai bangun komunikasi dengan orang
tua anak-anak bu!" Kataku sebelum beranjak pergi mencari iqbal.
*****
Rasanya lelah. Kusandarkan tubuhku dikursi
tua kecoklatan. Kuambil nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan secara perlahan.
Kini sedikit tenang. Kupandangi isi kamarku. Dipojok sebelah kanan tempatku
duduk kini, ada ranjang yang kokoh, asli buatan tangan ayahku. Diatasnya bantal
dan selimut tertata apik. Sebelah kiriku ada lemari kayu dengan tumpukan
buku-buku yang berjajar rapi. Hobiku suka membaca, menginspirasiku membuat
perpustakaan kecil. Lalu dibawahnya, ada peta hidup selama setahun yang
kutempel tepat diatas ranjangku. Disampingnya ada 'pohon mimpi' untuk harapan
yang ingin kucapai. Poster kaligrafi, gambar conan kesukaanku, dan beberapa
jadwal agenda kedepan ikut menghiasi kamarku.
Pandanganku kembali terpaku pada pohon
mimpi. Aku berjalan mendekatinya. Kusentuh pelan, kurasakan tintanya yang kini
hampir memudar. Kuamati dengan seksama. Aku bergetar membacanya.
Penulis produktif, Menulis bersama pengarang best
seller, Menerbitkan karya terbaik, Guru berprestasi dan dicintai anak didik,
Pandai berbahasa arab, Direktur lembaga belajar, Beasiswa S2, Keliling
Indonesia gratis, …………dll.
Aku terpaku. Ku eja sekali lagi.. Guru
berprestasi dan dicintai anak didik.
Kurasakan Kristal bening keluar dari
kelopak mataku. Jujur, aku takut tak bisa melakukannya. Tantangan menjadi
seorang guru kuakui memang berat. Tantangan awal yang kuhadapi adalah
menyelesaikan setiap problem yang terjadi pada anak-anak. Perkembangan
teknologi dan pergaulan yang tak terbatas, menuntut perhatian lebih akan
perkembangan mereka. Sebagai seorang guru, aku merasa bertanggung jawab untuk
membimbingnya beranjak dewasa.
Tantangan kedua adalah tantangan materi. Tak banyak guru yang mau
istiqomah berjuang di bidang pendidikan ini. Dengan dalil rendahnya honor yang
mereka terima, membuat mereka tega meninggalkan anak-anak yang butuh
pendidikan.
Aku teringat sahabatku SMA, fanis namanya. Sejak lulus SMA, ia tak
pernah bermimpi atau bercita-cita menjadi guru. Berada dalam rengkuhan orang
tuanyalah yang telah menuntutnya mengambil jurusan pendidikan ini. Harapan
orang tuanya, ia bisa menjadi PNS. Keinginan itulah yang selalu menghantuinya.
Berbekal kertas ijazahnya, ia nekat mendaftar. Tanpa pernah terjun mengajar, ia
hanya focus untuk mendaftar PNS. Naasnya universitas tempatnya kuliyah belum
diakui ijazah pendidikannya, sehingga ia tidak bisa ikut mendaftar CPNS. Karena
kecewa, akhirnya ia merantau ke bandung mencari pekerjaan lain.
Hatiku kembali bergetar. Jangan-jangan aktivitas mengajarku saat ini
belum benar-benar dari hati. Atau pengabdianku selama ini hanya dipacu untuk
mendapatkan selembar materi. Jika karena itu, betapa kejamnya diriku?
#SELESAI#