Jumat, 31 Oktober 2014

Mahasiswa Sebagai SDM Negara



Oleh: Dwi Puji Astuti

Mahasiswa adalah segelintir generasi yang berkesempatan untuk belajar lebih lama dibandingkan dengan yang lain.  Menjadi mahasiswa adalah sebuah amanah besar yang dititipkan kepada pemuda demi meneruskan estafet keberlangsungan bangsa ini.
Penambahan kata "Maha" didepan sebutan akademik menuntut sebuah pertanggung jawaban moral untuk direalisasikan. Kebanggan ketika menyandang gelar mahasiswa tidak sesederhana seperti yang dipikirkan, dan bukan pula hal yang tidak rumit ketika dibayangkan. Kata mahasiswa sangat "simple" namun menuntut sebuah keseriusan. Ada sebuah penggeseran paradigma berpikir dari siswa ke mahasiswa, dan tentunya pergeseran paradigma berpikir ini harus menuju perubahan positif yang direalisasikan demi meneruskan dan membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik, maju dan sejahtera.
Harus disadari bahwa dunia mahasiswa sangatlah berbeda, mahasiswa dituntut independensi dan kemandirian personal untuk proaktif dan berpikir kritis serta dewasa dalam segala hal. Banyak hal yang menuntut eksplorasi intelektual ketika menjadi mahasiswa, dan organisasi adalah salah satu pilihan wajib bagi mahasiswa untuk menumbuhkan dan mengokohkan eksistensi kedewasaan, membangun keberanian,dan mengembangkan kepercayaan diri.
Meminjam istilah Rono Indra,S.Pi sang master spiritual dan motifator bahwa manfaat organisasi antara lain:
1.      Menumbuhkan sikap mental positif
Berorganisasi menyadarkan akan pentingnya sikap mentalyang positif karena diorganisasi dilatih untuk disiplin, jujur, berpikir kritis, dan mampu memanage waktu. Sikap ini akan terpakai didunia kerja dan aktifitas sehari-hari.
2.      Berdiskusi dan menyampaikan pendapat
Berorganisasi mempertemukan banyak orang yang berbeda-beda karakter, sehingga "dipaksa" untuk berani mengemukakan pendapat lewat diskusi, rapat, dll.
3.      Belajar management organisasi
Berorganisasi mengajarkan bertindak sesuai prosedur dalam menegement organisasi, misalnya: tata cara rapat, mengajukan proposal, dan mengerjakan sebuah proyek.
4.      Ajang bersosialisasi
Berorganisasi menjadikan pergaulan lebih meluas, banyak relasi dan kawan, banyak kerjasama dengan pihak sponsor, kontak penting, dan pejabat-pejabat daerah.
Itulah sebagian manfaat organisasi yang disebutkan, seharusnya mampu membukamata dan cakrawala berpikir agar tidak hanya menjadi mahasiswa akademik namun juga menjadi mahasiswa yang berpikir global bahkan internasional.
Andi Alfian (seorang politikus) mengklarifikasikan mahasiswa kedalam 4 karakter, yaitu:
1.      Mahasiswa anak mama
Mahasiswa ini selalu menggantungkan diri pada orangtuanya, dalam bahasa sopannya "tidak mandiri".
2.      Mahasiswa salon
Mahasiswa ini selalu memperlihatkan barang-barang mewah, aksesoris cantik terbaru (pamer).
3.      Mahasiswa jalan pintas
Mahasiswa ini berkeinginan agar semuanya cepat selesai, jika ingin cepat lulus maka menggunakan segala cara agar cepat lulus meskipun dengan jalan buruk. Mahasiswa jalan pintas cenderung hanya memikirkan akademik saja.
4.      Mahasiswa unggul
Mahasiswa ini adalah mahasiswa yang sukses disegala bidang. Tak hanya sukses akademis tetapi juga sukses organisasi. Karakter mahasiswa unggul ini sangat jarang dan susah ditemukan, karena hakikatnya mahasiswa yang mampu memanage akademik dan organisasi hingga sukses keduanya sangat sedikit.
            Berbicara tentang mahasiswa tidak sekedar bicara mengenai organisasi dan non organisasi. Bicara tentang mahasiswa berarti berbicara tentang bangsa, karena mahasiswa adalah komponen tunas bangsa yang disebut "golden stock" bagi sebuah peradapan.
Posisi mahasiswa sangat strategis dalam proses penyiapan pemimpin masa depan sebuah bangsa. Mahasiswa selalu diikat oleh tiga tradisi ilmiah yang menjadi khasnya sebagai insan akademis. Ketiga tradisi ini disebut "Trias tradition of students" yaitu membaca, menulis dan berdiskusi. Berbicara tentang mahasiswa juga tak lepas dari mahasiswa sebagai agent of change dan control social. Ketiga fungsi mahasiswa tersebut harus menumbuhkan kepekaan social terhadap realita masyarakat mengingat mahasiswa juga salah satu elemen didalamnya. Mahasiswa yang benar-benar paham dengan fungsinya bukan hanya sekedar belajar dikampus namun juga mempunyai tanggung jawab moral dan social atas perananya dalam masyarakat dan Negara.
            Negeri ini adalah negeri yang besar. Tanpa ada konstruksi yang besar dari otak generasi mudanya terutama mahasiswa, maka bagaimana nasib masa depan negeri ini? Jika ternyata mahasiswa hari ini tidak memiliki progresifitas dalam membangun bangsa maka dapat dibayangkan betapa hancurnya negeri ini. Optimalisasi ide, eksplorasi intelektual, dan rekonstruksi pemikiran dengan pemenuhan intelektualitas merupakan tugas pokok mahasiswa. Mahasiswa yang notabene sebagai SDM bangsa mempunyai peranan strategis yang sangat besar dalam memberikan konstribusi yang terbaik untuk negeri ini.
            Meminjam istilah Greenday dalam American Idiotnya: "Don't wanna be an Indonesian idiot", jangan mau dinina bobokan oleh kondini hedonis yang melenakkan, wahai mahasiswa. ingatlah perkataan soekarno " Berikan aku 10 pemuda, maka akan kugoncang dunia". Ini artinya, pemuda terutama mahasiswa adalah kekuatan dan kekayaan Negara yang memiliki peranan sangat luar biasa. Sekarang tinggal bagaimana mengakomodir seluruh kemampuan dan profesi untuk berkontribusi besar bagi negeri ini. Mahasiswa yang berpikir konstruktif dan produktif-lah yang akan menjadi mahasiswa sukses dalam kehidupannya.
Hidup mahasiswa!!! Hidup pemuda!!!
Salam solutif mencerdaskan.

NOSTALGIA BUNGA KAMBOJA



Kubuka jendela kamar yang berwarna putih kehijauan. Sekejap kurasakan udara pagi yang segar menyeruak masuk kedalam. Sinar mentari yang berwarna keemasan ikut menerobos masuk melalui selah-selah kamar. Burung-burung kecil pun terdengar bersahut-sahutan. Salah satu jenis burung itu ada burung prenjak. Aku jadi ingat kata ibuku kalau ada burung prenjak berkicau disekitar rumah maka akan ada tamu yang datang. Namun aku yakin itu hanya mitos, bila memang itu benar mungkin hanya kebetulan. Aku tersenyum. Indah sekali kuasa Allah ini. Kulayangkan pandanganku pada bunga kamboja yang tumbuh didekat jendela. Pohonnya lumayan tinggi, bunganya pun rindang bermekaran. Indah kupandang namun selalu berkesan duka. Berbeda dengan bunga mawar diujung pagar itu, meski hanya berbunga beberapa tangkai namun selalu berkesan bahagia dan penuh dengan cinta.
Kupejamkan mata, mencoba merasakan perasaan bunga kamboja. Kuhayati dan terus kuhayati, namun tetap saja selalu kurasakan kesan sedih dan pilu. Kubisikkan harap pada tuhanku, Ya allah.. berikan keadilanmu pada bunga kamboja ini, agar ia tidak selalu merasa terkucilkan dan terdzolimi. Berikan ia kesempatan seperti bunga mawar walau hanya sekali, tumbuh bahagia dengan cinta dihati.
Kubuka mata ini bersamaan dengan terdengarnya lirik lagu Ebiet G Ade yang sengaja disetel adikku. Meski lirik lagu itu hanya sayup-sayup terdengar namun aku dapat merasakan pesan dalam yang disampaikannya.
Dimatamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat dikeningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras namun kau tetap tabah
Meski nafasmu kadang tersengal
Memikul beban yang makin  sarat kau tetap bertahan
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari kini kurus dan terbungkus
Namun semangat tak pernah pudar meski langkahmu kadang gemetar kau tetap setia
Ayah…. Dalam hening sepi kurindu         
Untuk menuai padi milik kita tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban                                 
Lirik lagu yang dinyanyikan oleh Ebiet G Ade itu mampu membuat mata ini gerimis. Butir bening di kelopak mataku tak mampu lagi kutahan. Terbayang jelas kenangan masa lalu bersamanya. Sungguh penuh romansa. Akupun terbawa pada sepotong episode masa lalu saat ruang dan waktu dimana aku bisa melihat senyum manisnya…                                                                                                                  *****
"Sini naik kepangkuan ayah, anak ayah sebentar lagi sudah gadis lho." Kata ayah padaku. Kulihat senyum khas miliknya. Aku tersipu malu.
"Yah, kalo nanda sudah besar nanti nanda pengen kasih hadiah ke ayah." Kataku.
Kulihat mata ayah berbinar. Wajahnya pun berseri-seri.
            "Oh ya? Nanda mau kasih apa sama ayah?" Tanya ayah terkaget-kaget.
            "Nanda mau kasih piala sama ayah, persembahan dari nanda." Kataku serius.
            "Wah bagus itu, ayah pasti seneng banget. Iya kan, yah?" Ibu yang dari dapur datang menimpali. Ayah tersenyum kemudian tertawa.
            "Beneran ya?" ledek ayah padaku meminta keseriusan.
Aku mengangguk mantap. Ayah kemudian mengelus kepalaku dengan sayang.
            Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Akupun kini beranjak dewasa. Dan ayah masih tetap sama dengan kasih sayang dan senyum khasnya. Dan akupun juga masih tetap kukuh akan memberikan yang terbaik untuk ayah. Entah kapan, semoga Allah memudahkan.
Sore semakin temaram saat aku pulang dari kampus. Aku turun dari motor bututku dengan senyum mengembang dan menyapa dengan ramah pada seluruh penghuni rumah. Inilah salah satu trik agar keluargaku tidak mengomel ketika aku pulang kesorean. Aku berharap dengan senyum dan sapaku ini, keluargaku juga akan menyambutku dengan senyum yang lebih indah dan kehangatan kasih sayang sehingga tidak ada masalah meski aku selalu pulang kesorean. Realitas kurangnya komunikasi dengan keluarga inilah yang banyak dialami seorang aktivis hingga akhirnya berujung pada dibatasinya gerak aktifitas yang akan dilakukan. Karena memang hampir setiap hari aku berangkat pagi dan pulang sore dengan alasan ada aktifitas dakwah atau ada syuro. Adanya komunikasi yang baik dengan keluarga inilah yang akhirnya membuat mereka faham dan percaya dengan aktifitasku. Terlebih ayahku. Bahkan ayah sangat-sangat percaya apapun yang akan aku lakukan. Tak pernah sekalipun aku melihatnya ragu.
Pernah suatu kali aku mendengar percakapan ayah dengan pak amron, tetanggaku yang anaknya juga kuliah di kampus yang sama denganku. Anaknya setiap hari berangkat kekampus hanya untuk kuliah, berbeda dengan diriku.
            “Nanda setiap hari pulang jam berapa, lik?” Tanya pak amron pada ayah.
            “Jam enam…” jawab ayahku.
            “Tiap hari nanda pulang jam enam? Apa saja sih yang selalu dikerjakannya? kuliah?” Tanya pak Amrom sambil mengerutkan kening.
            “Lho kau ini ndak tau, Ron.. Nanda kan mau jadi ustadzah. Kata anakku, nanda sering mengisi pengajian di kampus.” Terang pak Soleh. Pak soleh juga punya anak yang juga kuliah ditempat yang sama denganku tetapi satu tingkat dibawahku. Namanya meta.
            “Lah mestinya kan kalau kuliah nanti jadi guru, atau jadi pekerja di kantoran. Lha ini malah mengisi pengajian.” Kata Pak Amron heran.
            “Anaknya malik ini aneh, Ron..”
Pak Amron dan pak soleh  tertawa, ayah hanya tersenyum mendengarkan percakapan mereka.
            “Nanda melakukan itu untuk belajar dan dakwah, Ron, Leh.. bukan hanya dunia yang dikejar tetapi akhirat juga. Karena dunia ini bukan segala-galanya. Memang kita harus  bekerja untuk dunia tapi kita juga tak boleh melupakan akhirat. Aku percaya nanda melakukan yang terbaik. Jadi aku hanya mengarahkan yang memang bisa terbaik untuknya. Karena itu, aku mengizinkannya untuk ikut organisasi dan pulang sore.”
Pak Amron dan pak Soleh tersenyum sinis, tapi ayah tak terlalu peduli. Yang terpenting bagi ayah adalah memberikan yang terbaik untukku. Ayah tak pernah berkeluh kesah.
Aku kagum pada ayah. Ayah berbeda dengan orang tua kebanyakan. Meski ayah bukan orang yang berpendidikan tinggi, visi ayah untuk anak-anaknya patut diacungi jempol. Untuk menguatkannya aku sering memberikan harapan padanya. "Ayah, jika nanda sekarang belum bisa memberikan apa-apa untuk ayah, ayah jangan berkecil hati. Nanda akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk ayah. Jika memang ayah tidak bisa merasakannya hari ini, yakinlah doa nanda untuk ayah tak akan pernah kurang dan habis. Nanda akan menjadi tabungan amal yanga akan melancarkan jalannya ayah menuju syurga nanti."
Masih kurekam jelas semua itu. Bahkan Ketika senyumnya merekah, saat doanya mengiringi langkah, kala ridhonya menghampiri, semua itu menjadi kebahagiaan yang tak terbeli oleh materi. Aku masih ingat, sangat ingat malah.
                                                            *****
Hari masih siang ketika hp butut ku berdering.
Tiruiiit..tiruiiit.. tanda ada pesan masuk. Maka segera kuraih hp itu dari kantong baju batikku. Begitu sms itu kubuka, aku terpaku. Tak mampu kuucap sepatah katapun. Dunia seakan berhenti berputar, waktu seakan tak lagi berdetak, dan langit tiba-tiba mendung.
“Astaghfirullah...”aku tercekat. Hatiku terasa hancur. Kelam dan pekat.
Namun kemudian aku tersadar. Semuanya allah yang berencana, aku harus tetap bersabar dan tetap tegar. Maka segera ku bergegas menuju ke suatu tempat sesuai kabar yang barusan aku terima.
                                                            *****
Aku berjalan memasuki areal Rumah sakit dengan tergesa-gesa. Kabar yang kuterima siang ini membuatku shock. Lemas tak bertenaga.
Ayah masuk rumah sakit, begitu bunyi sms dari abangku.
Sms yang singkat tetapi syarat dengan makna yang dalam. Hatiku mulai bertanya-tanya, seberapa parahkah sakit ayahku hingga harus dibawa kerumah sakit. Pagi tadi ketika aku akan berangkat kuliah masih kulihat senyum tulus itu, senyum khas milik ayahku. Tetapi  kemudian lagi-lagi aku tersadar, laa haula walakuwwata illa billah.. tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah.
Kususuri lorong rumah sakit dengan tergesa-gesa. Beberapa orang yang sedang menunggu keluarganya yang sakit melihat kearahku, heran. Namun aku tak peduli dengan tatapan orang-orang itu, dipikiranku yang ada hanyalah tentang ayah.. ayah.. dan ayah.
Berbekal sms yang memberitahukan bahwa ayah dirawat di ruang Syaraf di kamar flamboyan, maka terus kususuri lorong demi lorong rumah sakit itu. Kutengok kanan kiri berharap ruang syaraf segera kutemukan. Barusan Ruang bedah sudah kulewati. Ruang anak juga sudah lewat. Ruang pernyakit dalam pun juga sudah lewat. Nah ternyata itu, ruang Syaraf hampir terletak diujung. Segera ku bergegas, ku percepat langkah berharap segera kulihat wajah ayah. Begitu sampai diambang pintu, aku disambut oleh ibuku. Kulihat wajah ibu yang mulai keriput itu, aku melihat gurat kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Dadaku berdesir melihat gurat kesedihan itu.
Kudekati sosok ayah, kupandangi dirinya dengan berkaca-kaca. Tak dapat lagi kutahan, mataku mulai gerimis. Ayahku tergeletak tak berdaya diatas ranjang pasien. Nafasnya begitu berat sehingga dokter memberinya oksigen tambahan. Detak jantungnya pun lemah. Beliau tak sadarkan diri. Kata ibuku setelah mengetahui hasil scanning tadi, ayah mengalami pendarahan di otak. Tak pernah terbayang sebelumnya kalau ayah akan merasakan sakit yang seberat ini. Aku tak tega. Hati ini pilu.
Hari pertama ayah dirumah sakit, keadaannya begitu menyedihkan. Ayah tak sadarkan diri. Begitu tersadar, ayah hanya bisa menatapku penuh isyarat namun tak satu katapun bisa keluar dari tenggorokannya. Tangannya bergerak-gerak meraih wajahku, aku tak bisa berbuat apa-apa selain menahan air mata ini.
Baru pada hari kedua aku menjenguknya, keadaanya mulai membaik. Seluruh keluargaku berharap ini akan menjadi titik balik kesembuhan ayah. Nafasnya yang disambung oksigen kini sudah dilepas, makannya tak lagi hanya lewat infus kini sudah bisa disuap, dan tubuhnya yang lemah kini sudah mulai bertenaga. Kami benar- benar bersyukur.
Hari ketiga aku menjenguknya, keadaannya malah kembali drop. Kondisinya yang kemarin sempat membaik, kini hilang entah kemana. Satu kesimpulan, ayah kembali kritis. Dan semua melemah, keadaan ayah dan harapan kami.
Hari keempat aku menjenguknya. Tak ada lagi tanda-tanda. Hati anak mana yang tidak hancur melihat keadaan ayah yang sangat dicintainya seperti itu.
                                                                        *****
Begitu Lirik lagu yang dinyanyikan oleh Ebiet G Ade itu selesai, aku kembali tersadar. Memori yang barusan kubuka lembarnya memberikan banyak sekali pelajaran tentang kebahagiaan dan kasih sayang seorang ayah. Karena Bermula dari keluargalah, energi cinta untuk bahagia itu ada. Kuseka butiran air mata ini. Tanpa sadar ku kutip sebuah puisi untuknya.
“Ayah, aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Dengan kata yang tak sempat diucap kayu kepada api yang menjadikannya abu
Ayah, aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikannya awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..”
Kembali kulayangkan pandanganku pada bunga kamboja yang tumbuh kekar didekat jendela. Kulihat bunga kamboja itu tertiup angin, dan salah satu bunga kamboja itu gugur ke tanah. Seakan bunga kamboja itu mengisyaratkan padaku bahwa meski ia selalu kesan sedih dan pilu namun ia tetap tegar. Ya, bunga kamboja itu selalu taat kepada titah tuhan yang telah menggariskan hidupnya. Ia memang berbeda dengan bunga mawar, ia lebih terlihat tegar.
Kuseka mataku dan mencoba tersenyum. Kubisikkan kata lewat angin yang bertiup pelan. Ayah, indahnya kenangan di beranda rumah kita, akan menjadi nostalgia merenda masa depanku penuh harapan.
                                                            **SELESAI**
# cerpen ini kupersembahkan untuk ayah, mengenang 1 tahun kehilangan sosoknya.

Mendidik dengan Hati



Mendidik dengan Hati
Kukkuruyyukkk…!!!
Suara kokok ayam bersahut-sahutan menandakan hari sudah pagi. Aku tergagap. "Subhanallah, sudah pagi.." batinku. Pikirku langsung tertuju pada tanggung jawabku. Mengajar. Tidurku yang larut malam karena membuat bahan ajar, berakibat pada bangun tidurku agak kesiangan. Aku segera bangun dan menyiapkan semuanya. Aku tak ingin menjumpai murid-muridku dalam keadaan tidak siap. Tak hanya siap materi, aku harus siap kasih sayang dan senyuman. Orang bilang ini mudah, tapi coba kita lihat prakteknya. Tak semua guru bisa belajar mendidik lewat hatinya, bahkan guru yang sudah mengajar bertahun-tahun sekalipun.
Tepat pukul setengah tujuh pagi kupacu motor bututku di jalanan beraspal. Seperti biasa, SDIT Wahdatul Ummah yang letaknya di Kota Metro, menjadi tujuan utamaku. Sekolah dengan area sempit dan bertingkat tiga ini adalah tempatku mengabdi di tiga bulan terakhir ini. Yah, aku terbilang masih guru baru disini. Namun, kedudukanku sebagai guru baru tidak membuatku merasa minder.
Sejak mengabdi di SDIT ini, aku mulai memantapkan diri menekuni profesiku. Sebuah tanggung jawab besar dan berat, satu persatu mulai kuangkat, bahkan tiga perempat waktuku habis di sekolah ini. Menjadi wali kelas, menjadi guru mata pelajaran, menjadi pembina ekskul dan mentoring, semuanya menjadi tantangan tersendiri buatku.
Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ditempat mengajarku. Begitu sampai disekolah, anak-anak kelas 1 yang ada disekitar gerbang masuk langsung memanggil namaku. "Bu Puji……, Bu Puji……" teriak mereka dengan wajah berseri-seri. Oh indahnya, ada yang bergetar di hati kala mendengar mereka menyebut namaku. Tak kalah semangat dari anak-anak itu, kujawab sapaan mereka dengan bahasa resmi mengajarku, yaitu bahasa arab. "Shobahul Khoir..!" serempak mereka menjawab dengan malu-malu, "Shobahun nuuurr!"
"Anak-anak kelas 1 sudah kenal dengan Ibu ya?" Tanya Bu Yayi yang menyalamiku di gerbang masuk.
"Iya Bu, kan saya mengajar bahasa arab di kelas 1," jawabku sambil tersenyum.
"Oh iya, Bu," jawabnya kemudian. Aku dan Pak Feri adalah satu-satunya guru mata pelajaran yang mengajar di kelas 1. Pak Feri sebagai guru olahraga dan aku sebagai guru bahasa arab. Jadi wajar ketika mereka melihatku atau melihat Pak Feri, mereka akan bersemangat memanggil nama kami. Kadang aku dan guru kelas mereka terheran-heran, karena anak-anak kelas 1 An-Naba memanggilku dengan nama "Bu pijet-pijet". Panggilan godaan mereka untukku ini selalu membuatku tertawa. Yang lebih membuatku bahagia adalah ketika aku mengajar bahasa arab di kelas 1 An-Nazi'at, karena begitu aku masuk kelas, mereka akan bersorak gembira menyambut kedatanganku. Rasa capek yang kadang kurasakan, seketika langsung sirna begitu melihat semangat dan senyum mereka.
Tepat pukul 07:15 WIB bel masuk berbunyi. Anak-anak segera berbaris rapi membaca ikrar dan janji pelajar SDIT Wahdatul Ummah. Setelah itu mereka bersalaman dengan wali kelas yang menyambut di depan pintu kelas masing-masing. Aku yang menjadi wali kelas 4 Al-Mulk juga berdiri disamping pintu kelas, membariskan mereka yang belum tertib, mengecek kondisi kelas, mengecek kehadiran mereka, juga menerima keluh kesah cerita yang mereka rasakan sehari-hari. 
"Ibu, masa hari ini Bima nggak piket," teriak Hilmi. "Piket yeeee… kemarin!" jawab Bima tidak mau kalah.
"Ibu, lihat Timnas tadi malam enggak Bu? masa kalah, Bu.. Evan dimas jagoan Bu Puji kalah" kata Habib menggebu-gebu. "Iya, masak kalah, Bu…" sahut Iqbal juga tak mau kalah.
"Ibu, kemarin lihat tiban enggak, Bu?" tanya Fauzia bersemangat. "Tiban itu apa, Fau?" tanyaku penasaran. "Itu lho Bu, adat orang jawa yang minta turun hujan," jawab Fauzia.
Masih banyak lagi celotehan anak-anak begitu menyambut kedatanganku di kelas. Kalau sudah begini, kelas pasti ramai akibat celotehan mereka. Dan aku harus bisa bertindak bijaksana menengahi dan menjawab setiap rasa penasaran mereka. Sebagai wali kelas, tak hanya celotehan atau masalah kecil seperti itu yang kuhadapi. Beberapa ulah mereka kadang membuat emosiku menjadi tingkat tinggi.
Hari itu benar-benar menjadi hari yang berbeda. Siang jam setengah 1, kala rasa capek dan emosiku benar-benar memuncak, aku harus dihadiahi sesuatu yang tidak kusuka. Ya, aku baru selesai mengajar dan berniat ingin istirahat sebentar karena capek, Alma murid kelasku lari tergopoh-gopoh menemuiku. Dan apa yang terjadi?
            "Ibu, kelas kita baunya amis lho Bu…" katanya terengah-engah.
            "Kenapa?" tanyaku santai. Aku yang kelelahan tak lagi berniat menanggapi pengaduannya.
            "Syafiq, Dzakwan, sama Alfi lempar-lemparan telor Bu. Kelas kita jadi bau banget, pengen muntah pokoknya Bu.." katanya menggebu-gebu.
Aku yang mendengar pengaduannya menjadi geram. Segera aku beranjak dari tempat dudukku, tanpa menghiraukan lagi rasa capek tadi, aku berjalan menuju kelas dengan amarah yang hampir di ubun-ubun. Benar saja, begitu sampai dikelas baunya sudah luar biasa amis. Kertas-kertas dan wadah makanan berserakan di lantai. Kucoba untuk menahan amarah. Kusuruh mereka semua masuk kelas, mereka protes keras karena tidak tahan bau. Aku tak perduli dengan protes mereka, itulah konsekuensi yang harus mereka pertanggungjawabkan.
Setelah mereka duduk, mereka tak lagi bersuara atau protes. Mereka bungkam melihat wajahku yang merah padam. Aku minta alasan mereka kenapa melakukan itu. Kutanya satu persatu, 3 orang muridku yang merasa bersalah tadi tertunduk pilu. Mereka menunduk berkaca-kaca. Aku bukan seorang guru yang tega menghukum mereka begitu saja, apalagi dengan hukuman fisik. Aku ingin mereka jera bukan karena beratnya hukuman yang mereka terima, tetapi kesadaran mereka sendiri yang membuatnya berubah.
Sejenak setelah emosiku dan mereka mereda, kuminta mereka semua untuk mengepel kelas. Butuh waktu 30 menit menunggu kelas kembali bersih. Setelah mereka kembali duduk, aku meminta mereka untuk beristighfar dan membuat surat pernyataan penyesalan.      
"Bu puji, saya tidak akan mengulangi kesalahan yang diperbuat oleh saya, maupun teman-teman. Saya akan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Maukah Bu Puji memaafkan kesalahan kita semua?" Ttd Syifa.
"Saya berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi. Dan saya anggap ini yang pertama dan terakhir kalinya. Jika mengulanginya lagi saya akan istighfar 100x." Ttd. Nabila.
"Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang tidak baik, kalau saya mengulanginya saya akan: Istighfar 50x, membersihkan toilet, puasa sunah 3x, dihukum guru dan teman-teman." Ttd. Yaya.
"Saya tidak akan mengulangi lagi, padahal saya tidak melempar telor." Ttd. Atawi.
"Saya minta maaf sekali pada bu puji dan guru SDIT Wahdatul Ummah. Saya sangat menyesal karena sudah membuat bu puji sedih. Saya tahu hati bu puji sedih karena melihat siswa-siswi bu puji sangat nakal dan bandel. Saya tau perasaan bu puji sekarang masih sedih kan, maaf ya bu kalau saya nakal/bandel!" Ttd Diva.
Setiap kali membaca surat pernyataan mereka, aku tersenyum sendiri. Unik, lucu, dan manjur. Terbukti setelah mereka menulis surat itu, mereka bisa bersikap lebih baik, bahkan 1 bulan setelah kejadian tersebut tak ada kekacauan yang terjadi.
                                                            *****
Selain menjadi walikelas dan guru bahasa arab kelas 1, aku juga menjadi guru pendidikan agama dan budi pekerti kelas 4 dan 5. Butuh persiapan matang dan kreatif untuk mengajar anak-anak kelas atas ini. Beberapa diantara anak-anak itu ada yang susah menerima pelajaran. Jadi, kolaborasi pelajaran kreatif dengan kurikulum 2013 sangat dibutuhkan.
"Assalamu'alaikum…." sapaku pada anak-anak kelas 4 Al-Qolam, ketika aku masuk kelas. Senyum mengembangku seketika berubah saat melihat mereka justru asyik bermain stik.
"Hemmm.. hemmm.." Aku menggelengkan kepala. "Ayo silahkan kembali ketempat duduk masing-masing. Azizi, apa kabar? Caesar, apa kabar? Abang Najmi apa kabar?" kusapa khusus untuk ketiga anak ini. Aku yakin sapaan khusus bisa menarik mereka suka pada pelajaranku.
"Oke.. hari ini, kita akan belajar PAI di luar kelas, kita akan belajar mengenal Allah melalui alam semesta," kataku bersemangat.
"Horeeee.." teriak mereka girang. Kelas kembali berubah gaduh karena kegembiraan mereka.
"Kita ke sawah ya, Bu?" Teriak Caesar. Aku tersenyum mengangguk.
"Sekarang tolong siapkan alat tulis seperlunya saja, tidak usah bawa tas. Boleh bawa air minum kalau haus. Dan.. tolong perhatikan! Ada beberapa hal yang harus kita lakukan. Pertama, harus menjaga adab-adab kita kepada orang yang kita temui di jalan. Juga menjaga adab-adab kita pada hewan dan tumbuhan. Kedua, berjalan di lajur kiri dan tidak main-main di jalan. Ketiga, sebelum berangkat kita berdo'a dulu. Yuk, baca basmalah dan Al-Fatihah bersama…" Bla..Bla..Bla..
Hamparan sawah yang membentang, kicauan burung-burung yang berdendang, serta semilir angin yang menyejukkan, membuat pembelajaran diluar kelas benar-benar menyenangkan.
"Adanya alam semesta, termasuk bumi yang kita huni sekarang ini adalah bukti adanya Allah. Ada makhuk hidup dan ada benda mati. Anak-anak, Semua itu siapa yang menciptakan? Iya, Allah.. Nah, sekarang silahkan tulis makhluk hidup dan benda-benda yang kalian lihat sesuai dengan kategori jenisnya masing-masing…"
Anak-anak begitu bersemangat belajar di sawah. Mereka bersegera mengambil alat tulis. Ya, mereka seperti burung yang terbebas dari sangkarnya. Keceriaan itu terpancar dari raut muka polos mereka. 2 jam pelajaran yang biasanya terasa lama, kini rasanya begitu cepat. Bahkan ketika ku ajak pulang, anak-anak justru ingin tetap belajar.
                                                *****
Braaaakkkkk…..!!!!!
Tumpukan kertas-kertas jatuh berserakan dari atas meja tak jauh dari tempatku duduk. Semuanya berhamburan memenuhi lantai putih yang ada di pojok perpustakaan sekolahku. Aku terbengong. Kulihat mulai dari lembaran kertas rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), silabus, materi pembelajaran hingga soal-soal latihan semuanya berantakan menjadi satu. Ups, ternyata ada bu yeni disitu. Kuperhatikan raut mukanya, beliau tampak begitu kesal. Dengan hati yang masgul ia pungut lembaran kertas itu satu persatu. Aku yang kebetulan ada disampingnya justru tertawa.
"Kenapa bu, kok kelihatan Bete gitu?" Tanyaku padanya.
"Kesel bu.. capek, pusing saya!" jawabnya sekenanya.
"Kenapa, masalah anak-anak ya?" Aku  penasaran.
Ia hanya mengangkat bahu dengan raut muka yang makin cemberut. Aku yang melihat ekspresinya begitu justru tertawa. Bukan bermaksud menggodanya, akan tetapi aku hanya merasa miris melihatnya terpuruk dengan rasa pesimisnya. Ya, sejak pertama kali bertemu dengannya, yang kudengar darinya adalah rasa pesimis yang bertumpuk-tumpuk. "Si ini memang anaknya begitu bu, sudah diingatkan berkali-kali masih tetap sama, pusing saya bu" atau katanya "Kelas saya itu paling parah, anaknya bandel-bandel dan cuek."  Atau katanya "Ya gimana lho bu, tugas banyaknya segini puyeng saya mau dikerjakan yang mana dulu," Itulah sebagian kata-kata mengeluhnya yang sering kudengar.
"Sabar bu, proses mengajar itu luar biasa. Rasakan nikmatnya itu pelan-pelan seperti makan permen. Maka semakin lama kita merasakannya akan semakin nikmat saja."
Beliau tersenyum simpul. Aku pun ikut tersenyum. Aku yakin, bu yeni yang sudah lama mengajar pasti punya pengalaman yang lebih dariku, hanya saja praktek di lapangan itu yang susah dan menuntut kesabaran yang ekstra.
            Trrrruuutttt… (Hape-ku tiba-tiba bergetar)   
Kuraih hape yang bunyi barusan dari saku bajuku.
From: ibu iqbal       
Bu, tolong sampaikan ke iqbal hari ini saya tidak bisa menjemputnya, jadi iqbal pulang bareng azizi. terimakasih
Aku kembali tersenyum. Hemmm, ternyata dari ibunya iqbal, wali murid siswa kelasku. Kututup sms itu sebelum akhirnya kubalas dengan santun "Iya bu". Interaksi yang coba kubangun dengan wali murid beberapa minggu lalu kini berbuah. Aku dan wali murid kini saling menjalin komunikasi. Bahkan beberapa dari mereka kadang menceritakan permasalahan anak-anaknya untuk sama-sama mencari jalan keluar.
23 tahun kini usiaku, aku belajar untuk semakin dewasa. Aku merenung. Aku masih begitu ingat 13 tahun lalu, ketika orang tuaku bertanya apa cita-citaku. Aku menjawabnya dengan cepat: Guru. Tanpa kutahu apa makna sebenarnya dari kata itu, aku menjawabnya dengan cepat. Ya, secepat waktu ini membawaku terjun ke dunia itu. Dunia orang dewasa, aku menyebutnya. Membimbing, mengajar, dan mendidik. Aku tersenyum mengingat semua itu. Bu yeni yang melihatku tiba-tiba tersenyum lantas terheran-heran.
"kenapa bu kok senyum-senyum sendiri?"
"Ini bu, wali murid saya ada yang pesan sesuatu untuk disampaikan kepada anaknya". Jawabku masih tetap tersenyum.
"ibu enak ya, wali murid pada perduli dengan anaknya. Dikelasku boro-boro bu, buku penghubung saja enggak pernah diisi." Katanya membandingkan lagi.
"Sepertinya kita memang harus mulai bangun komunikasi dengan orang tua anak-anak bu!" Kataku sebelum beranjak pergi mencari iqbal.
                                                *****
Rasanya lelah. Kusandarkan tubuhku dikursi tua kecoklatan. Kuambil nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan secara perlahan. Kini sedikit tenang. Kupandangi isi kamarku. Dipojok sebelah kanan tempatku duduk kini, ada ranjang yang kokoh, asli buatan tangan ayahku. Diatasnya bantal dan selimut tertata apik. Sebelah kiriku ada lemari kayu dengan tumpukan buku-buku yang berjajar rapi. Hobiku suka membaca, menginspirasiku membuat perpustakaan kecil. Lalu dibawahnya, ada peta hidup selama setahun yang kutempel tepat diatas ranjangku. Disampingnya ada 'pohon mimpi' untuk harapan yang ingin kucapai. Poster kaligrafi, gambar conan kesukaanku, dan beberapa jadwal agenda kedepan ikut menghiasi kamarku.
Pandanganku kembali terpaku pada pohon mimpi. Aku berjalan mendekatinya. Kusentuh pelan, kurasakan tintanya yang kini hampir memudar. Kuamati dengan seksama. Aku bergetar membacanya.

Penulis produktif, Menulis bersama pengarang best seller, Menerbitkan karya terbaik, Guru berprestasi dan dicintai anak didik, Pandai berbahasa arab, Direktur lembaga belajar, Beasiswa S2, Keliling Indonesia gratis, …………dll.

Aku terpaku. Ku eja sekali lagi.. Guru berprestasi dan dicintai anak didik. 
Kurasakan Kristal bening keluar dari kelopak mataku. Jujur, aku takut tak bisa melakukannya. Tantangan menjadi seorang guru kuakui memang berat. Tantangan awal yang kuhadapi adalah menyelesaikan setiap problem yang terjadi pada anak-anak. Perkembangan teknologi dan pergaulan yang tak terbatas, menuntut perhatian lebih akan perkembangan mereka. Sebagai seorang guru, aku merasa bertanggung jawab untuk membimbingnya beranjak dewasa.
Tantangan kedua adalah tantangan materi. Tak banyak guru yang mau istiqomah berjuang di bidang pendidikan ini. Dengan dalil rendahnya honor yang mereka terima, membuat mereka tega meninggalkan anak-anak yang butuh pendidikan.
Aku teringat sahabatku SMA, fanis namanya. Sejak lulus SMA, ia tak pernah bermimpi atau bercita-cita menjadi guru. Berada dalam rengkuhan orang tuanyalah yang telah menuntutnya mengambil jurusan pendidikan ini. Harapan orang tuanya, ia bisa menjadi PNS. Keinginan itulah yang selalu menghantuinya. Berbekal kertas ijazahnya, ia nekat mendaftar. Tanpa pernah terjun mengajar, ia hanya focus untuk mendaftar PNS. Naasnya universitas tempatnya kuliyah belum diakui ijazah pendidikannya, sehingga ia tidak bisa ikut mendaftar CPNS. Karena kecewa, akhirnya ia merantau ke bandung mencari pekerjaan lain.
Hatiku kembali bergetar. Jangan-jangan aktivitas mengajarku saat ini belum benar-benar dari hati. Atau pengabdianku selama ini hanya dipacu untuk mendapatkan selembar materi. Jika karena itu, betapa kejamnya diriku?
                                                #SELESAI#