KEPINGAN PUZZLE JIWAKU
Mengajar itu seperti makan
permen. Sebanyak apapun aku memakannya, aku tidak pernah merasa kenyang.
Semakin lama aku mengunyahnya, semakin manis saja rasanya. Bahkan semakin
kucoba permen yang lain, semakin kurasakan sensasi berbeda tapi tetap terasa luar
biasa. Ya seperti itulah rasanya diriku kala mengajar. Semakin lama aku
mengajar, semakin indah saja rasanya. Episode hariku bersama mereka selalu
terasa istimewa. Bagiku, anak-anak adalah guru kehidupan. Dari mereka aku belajar
tentang arti hidup, persahabatan, kerja keras, bahkan sebuah mimpi. Kepingan
kehidupan mereka pun mampu menginspirasi diriku. Sekali lagi, Rasanya begitu
indah, Mereka seperti mozaik kehidupan yang menjadi bagian dari puzzle jiwaku.
Ingin kuceritakan tentang salah seorang muridku. Ia merupakan salah satu murid perempuan di
salah satu kelas yang ku ajar. Badannya tegap dan tinggi, kulitnya sawo matang,
tawanya renyah, senyumnya selalu penuh semangat, suara bass-nya yang cetar
menjadi ciri perangainya yang periang. Untuk ukuran tubuh anak SMP, ia
kelihatan lebih dewasa. Kesan pertama ketika bertemu dengannya adalah unik,
seunik namanya Aming Shan-Shan.
Pertama kali mengajar dikelas,
pertama kali yang kulihat adalah dirinya. Suara khasnya yang cetar membahana
sering mengacaukan kelas, apalagi ditambah dengan hobinya menyanyi dan sikapnya
yang sedikit tomboy, urakan, cuek serta berani. Aku sering dibuatnya kalah.
Semua jurus dan metode yang pernah kupelajari dalam mengelola kelas,
seolah-olah tak ada yang manjur untuk menghadapi anak ini. Mungkin ini salah
satu yang membuat diriku kesal padanya. Otomatis namanya pun masuk kedalam
hatiku menjadi salah satu daftar nama siswa bandel dikelas. Sejak bertemu
dengannya aku sudah tertarik, entah tertarik pada sikapnya yang sering membuat
diriku hilang kesabaran, atau tertarik karena ia menyimpan sesuatu yang
berbeda. Rasanya seperti ada magnet yang membuat diriku ingin memperhatikannya.
Aku tak tahu magnet apakah itu.
Dan kini, episode hariku
mengajar selalu ada yang baru dan menarik. Pagi ini pun kumulai aktivitas mengajarku dengan
semangat penuh cinta. Begitu cerah, secerah wajahku yang pagi ini akan
mengantar para finalis lomba sebagai duta sekolah. Dag dig dug hati ini membayangkan anak-anak
akan tampil nanti. Ah terasa istimewa. Ini pertama kalinya mereka mengikuti
cabang lomba ini sejak satu setengah tahun yang lalu sekolah mereka berdiri.
Meski belum terbiasa mengikuti lomba, semangat mereka tetap luar biasa. Aming
Shan-Shan, menjadi bagian dari salah satu duta lomba itu. Suaranya yang khas
mengantarkan ia menjadi salah satu personil duta Nasyid akhwat sekolah.
Bagiku Ia unik, seunik
namanya. Ketika yang lain memilih berangkat lomba naik mobil, ia justru memilih
untuk berangkat naik motor. Dan aku? Huft, aku ditugaskan menjadi Driver
pribadinya. Dan ia benar-benar membuatku keki. Setiap kali motorku berada
dibelakang mobil, ia selalu protes. Bisa mabuk katanya. Ah, akhirnya kutemukan
juga kelemahannya. Alergi naik mobil. Aku tersenyum bangga. Meski begitu, Selama
diperjalanan, tak henti-hentinya ia mendendangkan lagu. Ketika aku yang protes
karena terganggu, ia bilang itu latihan. Sungguh ini tidak adil.
Namun dibalik keunikan
dirinya, ia menyimpan duka yang dalam. Baru kupahami kondisi dirinya saat
berada diperjalanan pulang. Ia yang
duduk diboncengan belakang motorku hanya diam membisu. Akupun mulai bosan.
Untuk mengusir rasa bosanku, awalnya aku memintanya untuk bernyanyi. Tak
sengaja, aku memintanya menyanyikan lagu tentang Ayah, lagu yang mewakili
perasaan hatiku. Iapun menyanggupi, dan tak lama berselang kita sudah hanyut
menyanyikan bait lagu itu.
Untuk ayah tercinta aku ingin bernyanyi
Walau air mata mata dipipiku
Ayah dengarkanlah aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Namun tiba-tiba ia berhenti
bernyanyi. Lupa, katanya. Aku yang tak tahu perasaan batinnya malah menuturkan
cerita tentang ayahku sendiri. Ia mulai simpatik dengan ceritaku. Tanpa
disangka iapun membuka diri, dan mulai menceritakan tentang perasaan batinnya.
Aku terperanga.
Aming Shan-Shan, muridku yang
berbeda. Ia kehilangan kasih sayang dari orang tuanya. Ibunya sudah meninggal 6
tahun yang lalu karena melahirkan adik kecilnya, dan kini ayahnya hidup dengan istrinya
yang baru. Sosok seorang ayah yang seharusnya berada disampingnya dan
memperhatikan dirinya telah hilang. Tak pernah lagi memberikan nafkah atau
sekedar memberi recehan uang jajan kepadanya. Hidupnya seolah-olah tak bernada.
Kini ia tinggal bersama saudara dari bude-nya. Beberapa bulan yang lalu ia
sempat punya keinginan untuk keluar dari sekolah, karena rumahnya yang jauh
tidak memungkinkannya untuk berangkat. Apalagi jika sepeda yang menjadi
kendaraan satu-satunya rusak, sementara tidak ada yang memperhatikan dirinya.
Hal ini menjadi tekanan batin untuknya. Andai sekarang ia tak berangkat sekolah
2 kali lagi mungkin ia akan dikeluarkan.
Aming Shan-Shan, muridku yang
tegar. Dibalik ujian hidup yang menimpanya, ia masih bisa bertahan. Senyum dan
tawanya selama ini mampu menutupi luka batinnya. Tak ada yang tahu apa yang
dialaminya. Baru kupahami, beginilah seharusnya menjadi guru. Mengerti dan
memahami kondisi murid-muridnya. Separah apapun kenakalan seorang murid, itu
bisa dipengaruhi oleh kondisi keluarganya. Dan seorang guru, harus mampu
menjadi Ingarso sungtulodo inmadyo mangunkarso tut wuri handayani.
Aming Shan-Shan. Hari-harinya
memang kelihatan biasa. Ia masih bisa tersenyum. Ia masih tertawa. Namun siapa
sangka ia punya luka batin yang menganga. Mungkin ini jawaban mengapa aku
selalu tertarik untuk memperhatikannya sejak pertama kali berjumpa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar