Kubuka
jendela kamar yang berwarna putih kehijauan. Sekejap kurasakan udara pagi yang
segar menyeruak masuk kedalam. Sinar mentari yang berwarna keemasan ikut
menerobos masuk melalui selah-selah kamar. Burung-burung kecil pun terdengar
bersahut-sahutan. Salah satu jenis burung itu ada burung prenjak. Aku jadi
ingat kata ibuku kalau ada burung prenjak berkicau disekitar rumah maka akan
ada tamu yang datang. Namun aku yakin itu hanya mitos, bila memang itu benar
mungkin hanya kebetulan. Aku tersenyum. Indah sekali kuasa Allah ini. Kulayangkan
pandanganku pada bunga kamboja yang tumbuh didekat jendela. Pohonnya lumayan
tinggi, bunganya pun rindang bermekaran. Indah kupandang namun selalu berkesan
duka. Berbeda dengan bunga mawar diujung pagar itu, meski hanya berbunga beberapa
tangkai namun selalu berkesan bahagia dan penuh dengan cinta.
Kupejamkan
mata, mencoba merasakan perasaan bunga kamboja. Kuhayati dan terus kuhayati, namun
tetap saja selalu kurasakan kesan sedih dan pilu. Kubisikkan harap pada
tuhanku, Ya allah.. berikan keadilanmu pada bunga kamboja ini, agar ia tidak
selalu merasa terkucilkan dan terdzolimi. Berikan ia kesempatan seperti bunga mawar
walau hanya sekali, tumbuh bahagia dengan cinta dihati.
Kubuka
mata ini bersamaan dengan terdengarnya lirik lagu Ebiet G Ade yang sengaja
disetel adikku. Meski lirik lagu itu hanya sayup-sayup terdengar namun aku
dapat merasakan pesan dalam yang disampaikannya.
Dimatamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat dikeningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras namun kau tetap
tabah
Meski nafasmu kadang tersengal
Memikul beban yang makin
sarat kau tetap bertahan
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar legam terbakar matahari kini kurus dan
terbungkus
Namun semangat tak pernah pudar meski langkahmu kadang gemetar kau
tetap setia
Ayah…. Dalam
hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
Lirik
lagu yang dinyanyikan oleh Ebiet G Ade itu mampu membuat mata ini gerimis.
Butir bening di kelopak mataku tak mampu lagi kutahan. Terbayang jelas kenangan
masa lalu bersamanya. Sungguh penuh romansa. Akupun terbawa pada sepotong
episode masa lalu saat ruang dan waktu dimana aku bisa melihat senyum manisnya… *****
"Sini
naik kepangkuan ayah, anak ayah sebentar lagi sudah gadis lho." Kata ayah
padaku. Kulihat senyum khas miliknya. Aku tersipu malu.
"Yah,
kalo nanda sudah besar nanti nanda pengen kasih hadiah ke ayah." Kataku.
Kulihat mata ayah berbinar. Wajahnya
pun berseri-seri.
"Oh
ya? Nanda mau kasih apa sama ayah?" Tanya ayah terkaget-kaget.
"Nanda
mau kasih piala sama ayah, persembahan dari nanda." Kataku serius.
"Wah
bagus itu, ayah pasti seneng banget. Iya kan, yah?" Ibu yang dari dapur
datang menimpali. Ayah tersenyum kemudian tertawa.
"Beneran
ya?" ledek ayah padaku meminta keseriusan.
Aku mengangguk mantap. Ayah kemudian
mengelus kepalaku dengan sayang.
Hari
berganti hari. Bulan berganti bulan. Akupun kini beranjak dewasa. Dan ayah
masih tetap sama dengan kasih sayang dan senyum khasnya. Dan akupun juga masih
tetap kukuh akan memberikan yang terbaik untuk ayah. Entah kapan, semoga Allah
memudahkan.
Sore
semakin temaram saat aku pulang dari kampus. Aku turun dari motor bututku dengan
senyum mengembang dan menyapa dengan ramah pada seluruh penghuni rumah. Inilah
salah satu trik agar keluargaku tidak mengomel ketika aku pulang kesorean. Aku
berharap dengan senyum dan sapaku ini, keluargaku juga akan menyambutku dengan
senyum yang lebih indah dan kehangatan kasih sayang sehingga tidak ada masalah
meski aku selalu pulang kesorean. Realitas kurangnya komunikasi dengan keluarga
inilah yang banyak dialami seorang aktivis hingga akhirnya berujung pada
dibatasinya gerak aktifitas yang akan dilakukan. Karena memang hampir setiap
hari aku berangkat pagi dan pulang sore dengan alasan ada aktifitas dakwah atau
ada syuro. Adanya komunikasi yang baik dengan keluarga inilah yang akhirnya
membuat mereka faham dan percaya dengan aktifitasku. Terlebih ayahku. Bahkan
ayah sangat-sangat percaya apapun yang akan aku lakukan. Tak pernah sekalipun
aku melihatnya ragu.
Pernah
suatu kali aku mendengar percakapan ayah dengan pak amron, tetanggaku yang
anaknya juga kuliah di kampus yang sama denganku. Anaknya setiap hari berangkat
kekampus hanya untuk kuliah, berbeda dengan diriku.
“Nanda
setiap hari pulang jam berapa, lik?” Tanya pak amron pada ayah.
“Jam
enam…” jawab ayahku.
“Tiap
hari nanda pulang jam enam? Apa saja sih yang selalu dikerjakannya? kuliah?”
Tanya pak Amrom sambil mengerutkan kening.
“Lho
kau ini ndak tau, Ron.. Nanda kan mau jadi ustadzah. Kata anakku, nanda sering
mengisi pengajian di kampus.” Terang pak Soleh. Pak soleh juga punya anak yang
juga kuliah ditempat yang sama denganku tetapi satu tingkat dibawahku. Namanya
meta.
“Lah
mestinya kan kalau kuliah nanti jadi guru, atau jadi pekerja di kantoran. Lha
ini malah mengisi pengajian.” Kata Pak Amron heran.
“Anaknya
malik ini aneh, Ron..”
Pak Amron dan pak soleh tertawa, ayah hanya tersenyum mendengarkan
percakapan mereka.
“Nanda
melakukan itu untuk belajar dan dakwah, Ron, Leh.. bukan hanya dunia yang
dikejar tetapi akhirat juga. Karena dunia ini bukan segala-galanya. Memang kita
harus bekerja untuk dunia tapi kita juga
tak boleh melupakan akhirat. Aku percaya nanda melakukan yang terbaik. Jadi aku
hanya mengarahkan yang memang bisa terbaik untuknya. Karena itu, aku mengizinkannya
untuk ikut organisasi dan pulang sore.”
Pak Amron dan pak Soleh tersenyum
sinis, tapi ayah tak terlalu peduli. Yang terpenting bagi ayah adalah
memberikan yang terbaik untukku. Ayah tak pernah berkeluh kesah.
Aku
kagum pada ayah. Ayah berbeda dengan orang tua kebanyakan. Meski ayah bukan
orang yang berpendidikan tinggi, visi ayah untuk anak-anaknya patut diacungi
jempol. Untuk menguatkannya aku sering memberikan harapan padanya. "Ayah,
jika nanda sekarang belum bisa memberikan apa-apa untuk ayah, ayah jangan
berkecil hati. Nanda akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk ayah. Jika
memang ayah tidak bisa merasakannya hari ini, yakinlah doa nanda untuk ayah tak
akan pernah kurang dan habis. Nanda akan menjadi tabungan amal yanga akan
melancarkan jalannya ayah menuju syurga nanti."
Masih kurekam jelas semua itu.
Bahkan Ketika senyumnya merekah, saat doanya mengiringi langkah, kala ridhonya
menghampiri, semua itu menjadi kebahagiaan yang tak terbeli oleh materi. Aku
masih ingat, sangat ingat malah.
*****
Hari
masih siang ketika hp butut ku berdering.
Tiruiiit..tiruiiit.. tanda ada pesan masuk. Maka segera kuraih hp itu dari kantong baju
batikku. Begitu sms itu kubuka, aku terpaku. Tak mampu kuucap sepatah katapun. Dunia
seakan berhenti berputar, waktu seakan tak lagi berdetak, dan langit tiba-tiba
mendung.
“Astaghfirullah...”aku tercekat. Hatiku terasa hancur. Kelam dan pekat.
Namun kemudian aku tersadar. Semuanya
allah yang berencana, aku harus tetap bersabar dan tetap tegar.
Maka segera ku bergegas menuju ke suatu tempat sesuai kabar yang barusan aku
terima.
*****
Aku berjalan memasuki areal Rumah
sakit dengan tergesa-gesa. Kabar yang kuterima siang ini membuatku shock. Lemas
tak bertenaga.
Ayah masuk
rumah sakit, begitu bunyi
sms dari abangku.
Sms yang singkat tetapi syarat dengan
makna yang dalam. Hatiku mulai bertanya-tanya, seberapa parahkah sakit ayahku
hingga harus dibawa kerumah sakit. Pagi tadi ketika aku akan berangkat kuliah
masih kulihat senyum tulus itu, senyum khas milik ayahku. Tetapi kemudian lagi-lagi aku tersadar, laa haula
walakuwwata illa billah.. tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah.
Kususuri
lorong rumah sakit dengan tergesa-gesa. Beberapa orang yang sedang menunggu
keluarganya yang sakit melihat kearahku, heran. Namun aku tak peduli dengan
tatapan orang-orang itu, dipikiranku yang ada hanyalah tentang ayah.. ayah..
dan ayah.
Berbekal
sms yang memberitahukan bahwa ayah dirawat di ruang Syaraf di kamar flamboyan, maka
terus kususuri lorong demi lorong rumah sakit itu. Kutengok kanan kiri berharap
ruang syaraf segera kutemukan. Barusan Ruang bedah sudah kulewati. Ruang anak
juga sudah lewat. Ruang pernyakit dalam pun juga sudah lewat. Nah ternyata itu,
ruang Syaraf hampir terletak diujung. Segera ku bergegas, ku percepat langkah
berharap segera kulihat wajah ayah. Begitu sampai diambang pintu, aku disambut
oleh ibuku. Kulihat wajah ibu yang mulai keriput itu, aku melihat gurat
kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Dadaku berdesir melihat gurat kesedihan
itu.
Kudekati
sosok ayah, kupandangi dirinya dengan berkaca-kaca. Tak dapat lagi kutahan,
mataku mulai gerimis. Ayahku tergeletak tak berdaya diatas ranjang pasien.
Nafasnya begitu berat sehingga dokter memberinya oksigen tambahan. Detak
jantungnya pun lemah. Beliau tak sadarkan diri. Kata ibuku setelah mengetahui
hasil scanning tadi, ayah mengalami pendarahan di otak. Tak pernah terbayang
sebelumnya kalau ayah akan merasakan sakit yang seberat ini. Aku tak tega. Hati
ini pilu.
Hari
pertama ayah dirumah sakit, keadaannya begitu menyedihkan. Ayah tak sadarkan
diri. Begitu tersadar, ayah hanya bisa menatapku penuh isyarat namun tak satu
katapun bisa keluar dari tenggorokannya. Tangannya bergerak-gerak meraih
wajahku, aku tak bisa berbuat apa-apa selain menahan air mata ini.
Baru
pada hari kedua aku menjenguknya, keadaanya mulai membaik. Seluruh keluargaku
berharap ini akan menjadi titik balik kesembuhan ayah. Nafasnya yang disambung
oksigen kini sudah dilepas, makannya tak lagi hanya lewat infus kini sudah bisa
disuap, dan tubuhnya yang lemah kini sudah mulai bertenaga. Kami benar- benar
bersyukur.
Hari
ketiga aku menjenguknya, keadaannya malah kembali drop. Kondisinya yang kemarin
sempat membaik, kini hilang entah kemana. Satu kesimpulan, ayah kembali kritis.
Dan semua melemah, keadaan ayah dan harapan kami.
Hari
keempat aku menjenguknya. Tak ada lagi tanda-tanda. Hati anak mana yang tidak
hancur melihat keadaan ayah yang sangat dicintainya seperti itu.
*****
Begitu
Lirik lagu yang dinyanyikan oleh Ebiet G Ade itu selesai, aku kembali tersadar.
Memori yang barusan kubuka lembarnya memberikan banyak sekali pelajaran tentang
kebahagiaan dan kasih sayang seorang ayah. Karena Bermula dari keluargalah,
energi cinta untuk bahagia itu ada. Kuseka butiran air mata ini. Tanpa sadar ku
kutip sebuah puisi untuknya.
“Ayah, aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Dengan kata yang tak sempat diucap kayu kepada api yang
menjadikannya abu
Ayah, aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikannya awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada..”
Kembali kulayangkan pandanganku pada
bunga kamboja yang tumbuh kekar didekat jendela. Kulihat bunga kamboja itu
tertiup angin, dan salah satu bunga kamboja itu gugur ke tanah. Seakan bunga
kamboja itu mengisyaratkan padaku bahwa meski ia selalu kesan sedih dan pilu
namun ia tetap tegar. Ya, bunga kamboja itu selalu taat kepada titah tuhan yang
telah menggariskan hidupnya. Ia memang berbeda dengan bunga mawar, ia lebih
terlihat tegar.
Kuseka mataku dan mencoba tersenyum.
Kubisikkan kata lewat angin yang bertiup pelan. Ayah, indahnya kenangan di
beranda rumah kita, akan menjadi nostalgia merenda masa depanku penuh harapan.
**SELESAI**
# cerpen ini kupersembahkan untuk
ayah, mengenang 1 tahun kehilangan sosoknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar