"Bunda, kenapa ya Nana sering sekali marah padaku? Memangnya Dina
sering berbuat jahat ya sama Nana, bunda?" Tanya Dina serius, sambil
menyenderkan kepalanya dibahu bundanya. Nana adalah teman sebangkunya. Baru
beberapa minggu yang lalu bu Rani mengubah posisi duduk mereka. Dan kini Dina bergiliran
duduk sebangku dengan Nana.
"Memang Dina sering dimarahin apa sama Nana?" Tanya ibunya lembut
sambil mengelus kepala Dina. Ibunya paham anaknya ini sedang menghadapi
masalah, dan ia ingin anaknya belajar mencari solusi atas masalah itu sendiri.
"Dina sering dikatain yang jelek, sering disuruh geser padahal
tempat dudukku sudah sempit. Pernah waktu itu, Nana mengambil pensilku dan
membuangnya ke kotak sampah. Kan itu enggak boleh ya, Bunda?" kata Dina.
"Iya nak, seperti itu bukan perbuatan yang baik. Dina sudah tahu
nih kalo berbuat seperti itu enggak boleh, lalu harusnya kita berbuat
apa?" Tanya bundanya memancing anaknya untuk berpikir.
"Harusnya ya bun, kita saling menyayangi, saling berbuat baik. Kan
namanya teman. Kata bu guru agama di sekolah, anak yang selalu berbuat baik
akan dapat pahala banyak, disayang sama teman-teman, dan masuk Syurga. Tapi
kalau anak yang suka berbuat jelek, akan dimasukkan ke dalam neraka yang apinya
menyala-nyala. Ihhh.. serem!" kata Dina ketakutan membayangkan neraka. Ia
mempererat pelukan pada bundanya.
"Ihh.. takuuut!" sahut ayahnya sambil menekan hidung Dina.
"Ayaahhh.. sakit" teriak Dina manja. Ayah dan ibunya tertawa.
Pagi itu Dina berangkat sekolah dengan wajah tersenyum bahagia. Karena
ayahnya memberi uang saku lebih untuk ditabung. Sesampai di kelas ia menyapa
teman-temannya dengan ramah.
"Assalamualaikum… teman-teman!" sapa Dina dengan ceria.
"Wa'alaikumussalam.. selamat pagi, Dina!" Jawab teman-temannya
yang lain. Dina juga menyapa Nana yang duduk disampingnya, namun Nana tak mau
menjawab salam. Sekedar menengok pun tidak. Dina memperhatikan apa yang sedang
dilakukan Nana. Ternyata Nana tengah mengerjakan PR matematika. Wajah Nana
pucat, mungkin ia takut dihukum bu guru jika ketahuan baru mengerjakan PR. Dina
lalu duduk dibangkunya dan meletakkan tas di laci mejanya.
"Ish… geser sana!" teriak Nana jengkel pada Dina. Dina
bergeser sedikit. Dina tidak tahu kenapa Nana sering memakinya tanpa sebab yang
pasti. Meski begitu, Dina tetap tersenyum pada Nana, ia tak sedikit pun marah
atau dendam.
"Ihh… masih sempit nih, geser sana lho yang jauh!" teriak Nana
lebih ketus. Dina kembali bergeser. "Udah nih, Nana masih kesempitan
ya?" Tanya Dina lembut. "Iya! memang kenapa??" jawab Nana lebih
ketus, ia benar-benar jengkel. Dina mengelus dada, ia menahan gejolak amarah.
Namun Nana salah prasangka, ia mengira Dina sedang mengejeknya.
Brrruukk…
Tiba-tiba Nana melemparkan buku matematikanya ke muka Dina. Ia lalu
berlari keluar kelas tanpa terkendali. Dina tersentak kaget, ia tidak mengira
kalau Nana akan tega berbuat itu padanya. Teman-teman yang ada di kelas itu
berhamburan mengerubungi Dina. Mereka bertanya apakah Dina baik-baik saja.
Teman-temannya menyayangkan perbuatan Nana yang barusan terjadi.
Salah satu teman sekelasnya berlari ke kantor dan melaporkan kejadian
itu pada Bu Rani. Bu Rani segera datang dan menengahi. Bu Rani lalu mencari
Nana yang berlari keluar kelas, ternyata Nana menangis di kamar mandi. Bu Rani
merayu Nana untuk keluar dari kamar mandi dengan lembut. Beliau menjelaskan
kesalahpahaman yang barusan terjadi. Dina juga meminta maaf meskipun sebenarnya
ia tidak salah. Dina yakin orang yang lebih dulu meminta maaf akan mendapatkan
pahala yang banyak. Setelah beberapa menit, akhirnya Nana mau keluar. Ia tetap
diam membisu sampai jam pelajaran hari itu usai.
Keesokan harinya, Dina berangkat lebih pagi karena piket kelas. Ia
berbagi tugas dengan Meta, Salma, Reza, dan Adi. Meta dan Salma bertugas
menyapu kelas, Reza bertugas membersihkan papan tulis dan menyiapkan spidol,
Adi bertugas membuang sampah, sedangkan ia bertugas mengelap kaca dan
membersihkan sampah yang ada di laci meja.
"Ayo.. teman-teman, semangat!!" teriak Reza.
"Okeee.. " sahut mereka serempak.
Mereka piket kelas dengan semangat, begitu pula dengan Dina. Ia
membersihkan laci meja dengan cekatan, tak ada satupun meja temannya yang
ketinggalan.
"Pluuukk…" ada kertas digulung jatuh dari laci meja Nana.
Diambilnya kertas itu dan dibuang ketempat sampah. Namun ia melihat kertas itu
ada coretan tulisannya. Ia penasaran dengan apa yang ditulis Nana, maka diambilnya
kembali kertas itu. Dina terbengong saat membuka gulungan kertas ditangannya.
"Untuk Dina"
Begitulah kata pertama yang tertulis di kertas itu. Untuk aku?? Dina
terheran-heran. Ia semakin penasaran kenapa Nana menulis surat untuknya. Karena
penasaran, ia melanjutkan membaca surat itu.
"Dina,
sebelumnya saya minta maaf. Selama ini saya telah berbuat jahat sama kamu.
Jujur, saya jahat karena saya iri sama kamu. Kamu punya keluarga yang
perhatian, kamu pintar, banyak teman-teman yang suka sama kamu karena kamu anaknya
baik. Melihat kamu bahagia aku jadi iri. Aku memang bukan teman yang baik
untukmu, aku jahat. Tapi sekarang aku sadar, aku telah salah selama ini.
Keegoisanku hanya menyakiti diriku sendiri. Akibatnya, aku tak punya banyak
teman, orang tuaku juga semakin tidak perhatian. Karena itu aku butuh teman
seperti kamu. Dina, maukah kamu memaafkanku, dan menjadi sahabat baikku?"
Dina terharu, sebelum Nana meminta maaf, ia telah memaafkannya. Ia pun
telah salah sangka. Ia pikir Nana memang anak yang nakal, tapi sekarang ia tahu
bahwa perbuatan jahat Nana selama ini hanyalah karena keegoisan dan perasaan
irinya. Dina berjanji akan menjadi sahabat yang baik untuk Nana.
Selesai membaca surat itu, Dina berdiri terpaku. Ternyata oh ternyata,
Nana telah berdiri disampingnya. Nana meraih tangan Dina, ia menjabatnya dengan
erat. "Ya, kita bersahabat."