Rabu, 15 April 2015

LAPIS KETULUSAN


"Krriiiiiing…. Kriiiiiiiiing!!"
Jam beker yang kupasang di sampingku, kini berdering untuk kesekian kalinya. Aku tergagap. Kucoba buka mataku, namun rasanya berat. Kepalaku juga rasanya pusing. Dengan malas kupaksakan meraih jam beker itu. Kulirik dengan mata sipitku, waktu menunjukkan pukul 05.05.
"Masyaallah…"
Aku tersadar. Aku masih mengenakan mukena. Oh, aku ketiduran setelah sholat subuh tadi, karena menyiapkan keperluan mengajar hari ini. Ya, semalam tak sempat kusiapkan karena lembur sampai jam 12, mengisi raport MID semester genap.
Dengan terhuyung aku bangun dari atas sajadahku. Kulipat dengan acak mukena yang kukenakan tadi. Dari dapur terdengar suara ibuku menghidupkan kompor. Mungkin beliau hendak memasak untuk menyiapkan bekalku. Memang untuk urusan satu ini, jujur aku tak sempat sama sekali.
            Aku berjalan ke jendela dengan langkah gontai. Kutarik engsel jendela itu dan kudorong pelan. Terasa udara pagi menyeruak masuk kedalam.
"Hachyiim.. Hachyiiiimm.. Hachyiiimmm!!"
Hidungku rasanya gatal dan berair, tenggorokanku sakit, dan kepalaku juga makin berat. Kutengadahkan kepalaku lurus kedepan. Kulihat semburat jingga cahaya mentari, menerpa daun-daun akasia tinggi disana.
"Subhanallah.. indahnya!" Aku teringat firman Allah akan bebesaran-Nya, "Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Aku jadi termenung. Betapa luar biasa ciptaan Allah ini. Semburat cahaya mentari menyentakku akan arti ketulusan. Betapa tak pernah jenuh ia membagi cahayanya. Ia rela beredar, meski awan kadang menghalangi ketulusan sinarnya.
Kugerakkan kepalaku kekanan dan kekiri. Rasanya begitu kaku. Badanku juga rasanya pegal-pegal. Badan ini rasanya remuk redam. Aku berinisiatif mengambil handphone diatas meja, hendak minta izin tidak sekolah, tapi kemudian hatiku teringat ketulusan mentari tadi. Aku jadi ragu-ragu. Kuketik beberapa baris kalimat, namun kuurungkan dan kuhapus lagi. Teringat akan ada jam mengajar yang kutinggalkan, teringat anak-anak yang butuh perhatian, dan teringat raport yang harus kubagikan, semuanya akan terabaikan jika aku izin. Ah kutahan saja, batinku.
******
Tepat pukul setengah tujuh pagi kupacu motor bututku di jalanan beraspal. Seperti biasa, SDIT Wahdatul Ummah yang letaknya di Kota Metro, menjadi tujuan utamaku. Sekolah dengan area sempit dan bertingkat tiga ini adalah tempatku mengabdi kurang lebih setahun terakhir ini.
Sejak mengabdi di SDIT ini, aku mulai memantapkan diri menekuni profesiku. Sebuah tanggung jawab besar dan berat, satu persatu mulai kuangkat. Menjadi wali kelas, menjadi guru mata pelajaran, menjadi pembina ekskul dan mentoring, semuanya menjadi tantangan tersendiri buatku.
Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ditempat mengajarku. Begitu sampai disekolah, anak-anak kelas 1 yang ada disekitar gerbang masuk, langsung memanggil namaku. "Bu Puji……, Bu Puji……" teriak mereka dengan wajah berseri-seri. Oh indahnya, ada yang bergetar di hati kala mendengar mereka menyebut namaku. Tak kalah semangat dari anak-anak itu, kujawab sapaan mereka dengan lebih bersahabat. Kepala dan badanku yang rasanya tak karuan, kini terasa lebih baik karena terhibur oleh anak-anak itu.
"Anak-anak kelas 1 sudah kenal dengan Ibu ya?" Tanya Bu Yani yang menyalamiku di gerbang masuk.
"Iya Bu, kan saya mengajar bahasa arab di kelas 1," jawabku sambil tersenyum.
"Oh iya, Bu," jawabnya kemudian.
Kadang aku dan guru kelas bawah terheran-heran, karena anak-anak kelas 1 memanggilku dengan nama "Bu pijet-pijet". Panggilan godaan mereka untukku ini selalu membuatku tertawa. Yang lebih membuatku bahagia adalah ketika aku mengajar bahasa arab disalah satu kelas itu, mereka akan bersorak gembira menyambut kedatanganku. Rasa capek dan malas yang kadang kurasakan, seketika langsung sirna begitu melihat semangat dan senyum mereka.
Tepat pukul 07:15 WIB bel masuk berbunyi. Anak-anak segera berbaris rapi membaca ikrar dan janji pelajar SDIT Wahdatul Ummah. Setelah itu mereka bersalaman dengan wali kelas yang menyambut di depan pintu kelas masing-masing. Aku yang juga menjadi wali kelas berdiri didepan pintu, membariskan mereka yang belum tertib, mengecek kondisi kelas, mengecek kehadiran mereka, juga menerima keluh kesah cerita yang mereka alami. 
"Ibu, masa hari ini Bima nggak piket," teriak Hilmi. "Piket yeeee… kemarin!" jawab Bima tidak mau kalah.
"Ibu, lihat Timnas tadi malam enggak Bu? masa Evan dimas jagoan Bu Puji kalah..!" kata Habib tak percaya. "Iya, masak kalah, Bu…?" sahut Iqbal juga tak percaya.
"Ibu, kemarin lihat tiban enggak, Bu?" tanya Fauzia bersemangat. "Tiban itu apa, Fau?" tanyaku penasaran. "Itu lho Bu, adat orang jawa yang minta turun hujan," jawab Fauzia.
Masih banyak lagi celotehan anak-anak begitu menyambut kedatanganku di kelas. Kalau sudah begini, kelas pasti ramai akibat celotehan mereka. Dan aku harus bisa bertindak bijaksana menengahi dan menjawab setiap rasa penasaran mereka. Sebagai wali kelas, tak hanya celotehan atau masalah kecil seperti itu yang kuhadapi. Beberapa ulah mereka kadang membuatku lebih emosi. Bahkan tekanan beberapa wali murid juga membuat emosiku menjadi tingkat tinggi.
Seperti hari itu, meski badan ini tetap kupaksakan sehat, rasanya justru semakin tak karuan saja. Tak hanya pilek, batuk, dan demam yang kurasakan, kini suaraku serak dan hampir habis. Namun aku masih mengajar dan menjelaskan pelajaran seperti biasa. Aku masih memaksakan diri membina anak-anak pramuka yang akan lomba. Aku bertekat, tak ingin mengalah dan berkeluh kesah pada keadaan.
Siang itu, bu Eni mengajakku ke pasar untuk membeli snack. Setelah berputar sebentar, apa yang kami cari akhirnya kami dapatkan. Merasa tidak ada yang ingin dibeli lagi, kami pun mengambil motor yang diparkir di depan.
"Trrreeerrt.. trrreertt.." hapeku tiba-tiba bergetar. Kulihat ada sms masuk.
"Maaf ibu, nilai raport anak saya ada yang salah. Tolong ya bu diperbaiki, karena kasian anak saya dapat nilai segitu.." Hatiku berdesir membaca sms itu. Tak lama kemudian, kembali ada sms masuk. Kali ini dari guru mata pelajaran yang bersangkutan.
"Bu, apa nilai raport pelajaran saya salah? Coba ya bu di cek. Kok ada yang konfirmasi ke saya kalau salah." Haduh, pikiranku semakin tak tenang. Belum sempat ku balas sms itu, tiba-tiba ada sms lain  yang kembali masuk.
"Bu, saya ingin bertanya apa tujuan dan manfaat dari rangking? Karena menurut saya… bla..bla..bla.." begitu sms dari salah satu wali murid yang lain, meminta penjelasanku. Masyaallah, kepala ini rasanya makin nyut-nyutan. Emosiku pun jadi naik, namun kucoba tetap tenang dan bersabar. Kubalas sms itu satu persatu. Mencoba untuk berbahasa lebih santun walau dada ini rasanya sesak dan ingin meledak-ledak.
Hampir terjaga semalaman aku memikirkan masalah ini. Mencari solusi.. solusi.. solusi. Terbayang bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan raport yang salah, bagaimana sikapku kalau bertemu dengan beliau nanti. Sungguh, ini perasaan yang berat dan tidak nyaman. Banyak orang memang menginginkan seorang guru untuk sempurna. Menginginkan pekerjaan mengajar ini juga sempurna. Namun, dibalik itu kadang mereka tak pernah tahu, betapa berat beban menjadi sempurna itu untuk diemban. Akhirnya aku terlelap, bersamaan dengan hati ini yang berusaha lebih ikhlas dan tulus menjalaninya.
*****
Setiap hari rabu, jam mengajarku lebih singkat, jam 12.15 sudah selesai. Berhubung badan masih kurang fit, aku memutuskan untuk pulang istirahat. Ketika hendak mengambil motor di parkiran sekolah, aku bertemu dengan salah satu wali murid kelasku. Akhirnya kami bertegur sapa dan mengobrol beberapa hal. Aku ingin tahu pendapat beliau terkait masalah yang ingin coba ku cari solusi. Setelah berbincang cukup lama, ada getar-getar semangat yang terbangun.
"Kalau menurut saya, ibu berhasil menangani kelas yang ini bu. Ibu bisa menangani anak-anak yang super aktif. Saya berterima kasih atas perhatian ibu pada anak saya".
Pendapat dan masukan dari wali murid tadi benar-benar menguatkanku. Dalam perjalanan pulang aku terus berpikir dan merenung. Aku tak tahu, sejak kapan aku mencintai pekerjaan ini, pekerjaan yang sebenarnya berat, dan menyita hampir tiga perempat waktuku. Pekerjaan yang membuat mataku hampir terjaga seharian, yang membuat badanku remuk redam, dan yang membuat tidurku tak nyaman. Ya, pekerjaan ini memang menyiksa, tapi kenapa aku justru bahagia. Sekali lagi rasanya begitu bahagia. Mungkin memang benar kata pepatah itu, ketika kau punya beribu-ribu alasan untuk berpisah, tetapi kau tetap bertahan karena satu alasan, itulah yang namanya ketulusan dan cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar