"Krriiiiiing…. Kriiiiiiiiing!!"
Jam beker yang kupasang di sampingku, kini berdering untuk kesekian
kalinya. Aku tergagap. Kucoba buka mataku, namun rasanya berat. Kepalaku juga
rasanya pusing. Dengan malas kupaksakan meraih jam beker itu. Kulirik dengan
mata sipitku, waktu menunjukkan pukul 05.05.
"Masyaallah…"
Aku tersadar. Aku masih mengenakan mukena. Oh, aku ketiduran setelah
sholat subuh tadi, karena menyiapkan keperluan mengajar hari ini. Ya, semalam
tak sempat kusiapkan karena lembur sampai jam 12, mengisi raport MID semester genap.
Dengan terhuyung aku bangun dari atas sajadahku. Kulipat dengan acak
mukena yang kukenakan tadi. Dari dapur terdengar suara ibuku menghidupkan
kompor. Mungkin beliau hendak memasak untuk menyiapkan bekalku. Memang untuk
urusan satu ini, jujur aku tak sempat sama sekali.
Aku berjalan ke jendela
dengan langkah gontai. Kutarik engsel jendela itu dan kudorong pelan. Terasa
udara pagi menyeruak masuk kedalam.
"Hachyiim.. Hachyiiiimm.. Hachyiiimmm!!"
Hidungku rasanya gatal dan berair, tenggorokanku sakit, dan kepalaku
juga makin berat. Kutengadahkan kepalaku lurus kedepan. Kulihat semburat jingga
cahaya mentari, menerpa daun-daun akasia tinggi disana.
"Subhanallah.. indahnya!" Aku teringat firman Allah akan bebesaran-Nya,
"Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Aku
jadi termenung. Betapa luar biasa ciptaan Allah ini. Semburat cahaya mentari
menyentakku akan arti ketulusan. Betapa tak pernah jenuh ia membagi cahayanya.
Ia rela beredar, meski awan kadang menghalangi ketulusan sinarnya.
Kugerakkan kepalaku kekanan dan kekiri. Rasanya begitu kaku. Badanku
juga rasanya pegal-pegal. Badan ini rasanya remuk redam. Aku berinisiatif
mengambil handphone diatas meja, hendak minta izin tidak sekolah, tapi kemudian
hatiku teringat ketulusan mentari tadi. Aku jadi ragu-ragu. Kuketik beberapa
baris kalimat, namun kuurungkan dan kuhapus lagi. Teringat akan ada jam
mengajar yang kutinggalkan, teringat anak-anak yang butuh perhatian, dan
teringat raport yang harus kubagikan, semuanya akan terabaikan jika aku izin.
Ah kutahan saja, batinku.
******
Tepat
pukul setengah tujuh pagi kupacu motor bututku di jalanan beraspal. Seperti
biasa, SDIT Wahdatul Ummah yang letaknya di Kota Metro, menjadi tujuan utamaku.
Sekolah dengan area sempit dan bertingkat tiga ini adalah tempatku mengabdi
kurang lebih setahun terakhir ini.
Sejak
mengabdi di SDIT ini, aku mulai memantapkan diri menekuni profesiku. Sebuah
tanggung jawab besar dan berat, satu persatu mulai kuangkat. Menjadi wali
kelas, menjadi guru mata pelajaran, menjadi pembina ekskul dan mentoring,
semuanya menjadi tantangan tersendiri buatku.
Hanya
butuh waktu 15 menit untuk sampai ditempat mengajarku. Begitu sampai disekolah,
anak-anak kelas 1 yang ada disekitar gerbang masuk, langsung memanggil namaku.
"Bu Puji……, Bu Puji……" teriak mereka dengan wajah berseri-seri. Oh
indahnya, ada yang bergetar di hati kala mendengar mereka menyebut namaku. Tak
kalah semangat dari anak-anak itu, kujawab sapaan mereka dengan lebih bersahabat.
Kepala dan badanku yang rasanya tak karuan, kini terasa lebih baik karena
terhibur oleh anak-anak itu.
"Anak-anak
kelas 1 sudah kenal dengan Ibu ya?" Tanya Bu Yani yang menyalamiku di
gerbang masuk.
"Iya
Bu, kan saya mengajar bahasa arab di kelas 1," jawabku sambil tersenyum.
"Oh
iya, Bu," jawabnya kemudian.
Kadang
aku dan guru kelas bawah terheran-heran, karena anak-anak kelas 1 memanggilku
dengan nama "Bu pijet-pijet". Panggilan godaan mereka untukku
ini selalu membuatku tertawa. Yang lebih membuatku bahagia adalah ketika aku
mengajar bahasa arab disalah satu kelas itu, mereka akan bersorak gembira
menyambut kedatanganku. Rasa capek dan malas yang kadang kurasakan, seketika
langsung sirna begitu melihat semangat dan senyum mereka.
Tepat
pukul 07:15 WIB bel masuk berbunyi. Anak-anak segera berbaris rapi membaca
ikrar dan janji pelajar SDIT Wahdatul Ummah. Setelah itu mereka bersalaman
dengan wali kelas yang menyambut di depan pintu kelas masing-masing. Aku yang juga
menjadi wali kelas berdiri didepan pintu, membariskan mereka yang belum tertib,
mengecek kondisi kelas, mengecek kehadiran mereka, juga menerima keluh kesah
cerita yang mereka alami.
"Ibu,
masa hari ini Bima nggak piket," teriak Hilmi. "Piket yeeee…
kemarin!" jawab Bima tidak mau kalah.
"Ibu,
lihat Timnas tadi malam enggak Bu? masa Evan dimas jagoan Bu Puji kalah..!"
kata Habib tak percaya. "Iya, masak kalah, Bu…?" sahut Iqbal juga tak
percaya.
"Ibu,
kemarin lihat tiban enggak, Bu?" tanya Fauzia bersemangat. "Tiban
itu apa, Fau?" tanyaku penasaran. "Itu lho Bu, adat orang jawa yang
minta turun hujan," jawab Fauzia.
Masih
banyak lagi celotehan anak-anak begitu menyambut kedatanganku di kelas. Kalau
sudah begini, kelas pasti ramai akibat celotehan mereka. Dan aku harus bisa
bertindak bijaksana menengahi dan menjawab setiap rasa penasaran mereka.
Sebagai wali kelas, tak hanya celotehan atau masalah kecil seperti itu yang
kuhadapi. Beberapa ulah mereka kadang membuatku lebih emosi. Bahkan tekanan
beberapa wali murid juga membuat emosiku menjadi tingkat tinggi.
Seperti
hari itu, meski badan ini tetap kupaksakan sehat, rasanya justru semakin tak
karuan saja. Tak hanya pilek, batuk, dan demam yang kurasakan, kini suaraku
serak dan hampir habis. Namun aku masih mengajar dan menjelaskan pelajaran
seperti biasa. Aku masih memaksakan diri membina anak-anak pramuka yang akan
lomba. Aku bertekat, tak ingin mengalah dan berkeluh kesah pada keadaan.
Siang
itu, bu Eni mengajakku ke pasar untuk membeli snack. Setelah berputar sebentar,
apa yang kami cari akhirnya kami dapatkan. Merasa tidak ada yang ingin dibeli
lagi, kami pun mengambil motor yang diparkir di depan.
"Trrreeerrt..
trrreertt.." hapeku tiba-tiba bergetar. Kulihat ada sms masuk.
"Maaf
ibu, nilai raport anak saya ada yang salah. Tolong ya bu diperbaiki, karena
kasian anak saya dapat nilai segitu.." Hatiku berdesir membaca sms itu.
Tak lama kemudian, kembali ada sms masuk. Kali ini dari guru mata pelajaran
yang bersangkutan.
"Bu,
apa nilai raport pelajaran saya salah? Coba ya bu di cek. Kok ada yang
konfirmasi ke saya kalau salah." Haduh, pikiranku semakin tak tenang.
Belum sempat ku balas sms itu, tiba-tiba ada sms lain yang kembali masuk.
"Bu,
saya ingin bertanya apa tujuan dan manfaat dari rangking? Karena menurut saya…
bla..bla..bla.." begitu sms dari salah satu wali murid yang lain, meminta
penjelasanku. Masyaallah, kepala ini rasanya makin nyut-nyutan. Emosiku pun jadi
naik, namun kucoba tetap tenang dan bersabar. Kubalas sms itu satu persatu.
Mencoba untuk berbahasa lebih santun walau dada ini rasanya sesak dan ingin
meledak-ledak.
Hampir
terjaga semalaman aku memikirkan masalah ini. Mencari solusi.. solusi.. solusi.
Terbayang bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan raport yang salah,
bagaimana sikapku kalau bertemu dengan beliau nanti. Sungguh, ini perasaan yang
berat dan tidak nyaman. Banyak orang memang menginginkan seorang guru untuk
sempurna. Menginginkan pekerjaan mengajar ini juga sempurna. Namun, dibalik itu
kadang mereka tak pernah tahu, betapa berat beban menjadi sempurna itu untuk
diemban. Akhirnya aku terlelap, bersamaan dengan hati ini yang berusaha lebih
ikhlas dan tulus menjalaninya.
*****
Setiap hari rabu, jam mengajarku lebih singkat, jam 12.15 sudah selesai.
Berhubung badan masih kurang fit, aku memutuskan untuk pulang istirahat. Ketika
hendak mengambil motor di parkiran sekolah, aku bertemu dengan salah satu wali
murid kelasku. Akhirnya kami bertegur sapa dan mengobrol beberapa hal. Aku
ingin tahu pendapat beliau terkait masalah yang ingin coba ku cari solusi.
Setelah berbincang cukup lama, ada getar-getar semangat yang terbangun.
"Kalau menurut saya, ibu berhasil menangani kelas yang ini bu. Ibu
bisa menangani anak-anak yang super aktif. Saya berterima kasih atas perhatian
ibu pada anak saya".
Pendapat dan masukan dari wali murid tadi benar-benar menguatkanku.
Dalam perjalanan pulang aku terus berpikir dan merenung. Aku tak tahu, sejak
kapan aku mencintai pekerjaan ini, pekerjaan yang sebenarnya berat, dan menyita
hampir tiga perempat waktuku. Pekerjaan yang membuat mataku hampir terjaga
seharian, yang membuat badanku remuk redam, dan yang membuat tidurku tak
nyaman. Ya, pekerjaan ini memang menyiksa, tapi kenapa aku justru bahagia.
Sekali lagi rasanya begitu bahagia. Mungkin memang benar kata pepatah itu,
ketika kau punya beribu-ribu alasan untuk berpisah, tetapi kau tetap bertahan
karena satu alasan, itulah yang namanya ketulusan dan cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar