Pernahkah kita mencapai kondisi saat mengajar itu rasanya membosankan?
Atau pernahkah kita merasakan jenuh dan marah saat salam dan kehadiran kita
tidak dihiraukan? Sebelum menjawab itu, saya ingin menceritakan pengalaman saya
dengan kelas super di sekolahku, sebut saja kelas 4 D.
Kemarin, aku masuk
kelas 4 D pada jam terakhir. Sebelum aku masuk kelas, 2 siswa kelas 4 D
mencariku, mereka mengajakku untuk segera masuk kelas. Wah, hatiku cukup
bahagia, karena aku merasa anak-anak itu tengah menantikan kedatanganku. Dalam
hati aku bertanya, sudah benar-benar siapkah mereka menerima pelajaranku? Namun,
betapa terkejutnya aku begitu sampai di kelas 4 D, anak-anak di kelas itu
tengah bermain dengan hebohnya. Mereka asyik dengan kehebohannya masing-masing,
tanpa memperdulikannya kedatanganku. Sampai salah satu siswa dikelas itu
berteriak dengan keras.
"Hey, bu puji
datang!"
Gluduk… gluduk… gluduk… suara gemuruh anak-anak itu mencari tempat
duduknya masing-masing. Zzeeeeppp….!!!
Detik pertama kelas itu
sangat hening.
Detik kedua mereka
mulai senggol-senggolan.
Detik ketiga mereka saling tengok kanan kiri.
Detik keempat mereka mulai berbisik.
Detik kelima mereka mulai tertawa.
Detik keenam, ampun.. beberapa dari mereka berlarian.
"Masyaallah….." lisanku tak henti berucap
menahan gejolak kemarahan didada.
Kalau bapak/ibu ada di kelas itu, apa yang akan bapak/ibu lakukan? (1) Berteriak
marah hingga semua anak-anak diam? (2) Memukul papan tulis dengan penghapus
beberapa kali sampai semua tenang? (3) Atau
menjewer telinga anak-anak yang berisik itu?
Oke, yang kulakukan
pertama kali adalah beristighfar 3 kali. Setelah itu, kepalaku berpikir keras
mencari solusi yang tepat. Solusi yang kudapatkan dari membaca buku akhirnya berterbangan
di kepalaku. Solusi untuk tetap mengucapkan
salam meski awalnya tak ada yang menghiraukan.
Kuucap salam pertamaku, benar saja tak ada yang
menyahut. Aku masih mencoba bersabar.
Kuucap salam kedua, Alhamdulillah sebagian besar dari
mereka mulai melirik ke arahku.
Sebelum kuucapkan salam ketiga, kuberikan beberapa
pertanyaan kepada mereka," Siapa yang mau dapat pahala buannyakkk?"
Mereka yang mendengarkanku mengacungkan jari.
"Siapa yang ingin masuk syurgaaaa?"
Anak-anak yang awalnya masih main-main kini mereka menengok kekanan dan kekiri.
Melihat teman-temannya mengacungkan jari, mereka tergerak untuk ikut mengangkat
tangan. Hasilnya, separuh lebih anak-anak mulai mengacungkan jari.
"Siapa yang pulang sekolah nanti ingin selamat,
tidak terjadi musibah atau kecelakaan?" semua anak-anak di kelas itu
mengacungkan jarinya. Subhanallah, aku terkesima.
"Tayyib, yang mau dapet pahala buanyaakk, yang
ingin masuk syurgaaa, dan yang ingin pulang sekolah selamat, yuukk.. jawab
salam, karena salam itu adalah salah satu doa kita" kataku sambil
tersenyum manis.
"Oke, salamnya diulang sekali lagi ya? satu..
dua.. tiga… Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Kataku
bersemangat.
Serempak anak-anak itu menjawab salamku, "Wa'alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh.."
Perbuatan (1), (2), dan
(3) intinya sama: kita ingin anak-anak
diam dan fokus dengan segera. Namun, perbuatan (1), (2), dan (3) tidak
ditangkap anak kalau itu untuk kebaikan mereka. Anak-anak justru menangkap
bahasa tubuh kita kalau sedang MARAH.
Betapa banyak dari kita
yang melakukan kesalahan tersebut, dan kita tidak menyadarinya. Mengapa meski
kemarahan sudah kita tampakkan, tapi hasilnya anak-anak tetap tidak berubah?
Ternyata anak-anak tidak suka dengan paksaan dan ancaman. Maka solusinya kita
harus memberikan wacana agar anak-anak berpikir solusinya sendiri. Cobalah
untuk menunggu sejenak dengan bersabar maka anak-anak akan mengambil keputusan
sendiri dengan benar dan dengan kesadaran penuh.
Oke, selamat mencoba walau kadang memang berat :)
#Mempraktekkan buku
BBA
Pekalongan, 14 April
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar