Senin, 13 April 2015

Memancing Anak Untuk Ikhlas Menjawab Salam



Pernahkah kita mencapai kondisi saat mengajar itu rasanya membosankan? Atau pernahkah kita merasakan jenuh dan marah saat salam dan kehadiran kita tidak dihiraukan? Sebelum menjawab itu, saya ingin menceritakan pengalaman saya dengan kelas super di sekolahku, sebut saja kelas 4 D.
            Kemarin, aku masuk kelas 4 D pada jam terakhir. Sebelum aku masuk kelas, 2 siswa kelas 4 D mencariku, mereka mengajakku untuk segera masuk kelas. Wah, hatiku cukup bahagia, karena aku merasa anak-anak itu tengah menantikan kedatanganku. Dalam hati aku bertanya, sudah benar-benar siapkah mereka menerima pelajaranku? Namun, betapa terkejutnya aku begitu sampai di kelas 4 D, anak-anak di kelas itu tengah bermain dengan hebohnya. Mereka asyik dengan kehebohannya masing-masing, tanpa memperdulikannya kedatanganku. Sampai salah satu siswa dikelas itu berteriak dengan keras.
            "Hey, bu puji datang!"
Gluduk… gluduk… gluduk… suara gemuruh anak-anak itu mencari tempat duduknya masing-masing. Zzeeeeppp….!!!
            Detik pertama kelas itu sangat hening.
            Detik kedua mereka mulai senggol-senggolan.
Detik ketiga mereka saling tengok kanan kiri.
Detik keempat mereka mulai berbisik.
Detik kelima mereka mulai tertawa.
Detik keenam, ampun.. beberapa dari mereka berlarian.
"Masyaallah….." lisanku tak henti berucap menahan gejolak kemarahan didada.
Kalau bapak/ibu ada di kelas itu, apa yang akan bapak/ibu lakukan? (1) Berteriak marah hingga semua anak-anak diam? (2) Memukul papan tulis dengan penghapus beberapa  kali sampai semua tenang? (3) Atau menjewer telinga anak-anak yang berisik itu?
            Oke, yang kulakukan pertama kali adalah beristighfar 3 kali. Setelah itu, kepalaku berpikir keras mencari solusi yang tepat. Solusi yang kudapatkan dari membaca buku akhirnya berterbangan di kepalaku.  Solusi untuk tetap mengucapkan salam meski awalnya tak ada yang menghiraukan.
Kuucap salam pertamaku, benar saja tak ada yang menyahut. Aku masih mencoba bersabar.
Kuucap salam kedua, Alhamdulillah sebagian besar dari mereka mulai melirik ke arahku.
Sebelum kuucapkan salam ketiga, kuberikan beberapa pertanyaan kepada mereka," Siapa yang mau dapat pahala buannyakkk?" Mereka yang mendengarkanku mengacungkan jari.
"Siapa yang ingin masuk syurgaaaa?" Anak-anak yang awalnya masih main-main kini mereka menengok kekanan dan kekiri. Melihat teman-temannya mengacungkan jari, mereka tergerak untuk ikut mengangkat tangan. Hasilnya, separuh lebih anak-anak mulai mengacungkan jari.
"Siapa yang pulang sekolah nanti ingin selamat, tidak terjadi musibah atau kecelakaan?" semua anak-anak di kelas itu mengacungkan jarinya. Subhanallah, aku terkesima.
"Tayyib, yang mau dapet pahala buanyaakk, yang ingin masuk syurgaaa, dan yang ingin pulang sekolah selamat, yuukk.. jawab salam, karena salam itu adalah salah satu doa kita" kataku sambil tersenyum manis.
"Oke, salamnya diulang sekali lagi ya? satu.. dua.. tiga… Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Kataku bersemangat.
Serempak anak-anak itu menjawab salamku, "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.."
            Perbuatan (1), (2), dan (3)  intinya sama: kita ingin anak-anak diam dan fokus dengan segera. Namun, perbuatan (1), (2), dan (3) tidak ditangkap anak kalau itu untuk kebaikan mereka. Anak-anak justru menangkap bahasa tubuh kita kalau sedang MARAH.
            Betapa banyak dari kita yang melakukan kesalahan tersebut, dan kita tidak menyadarinya. Mengapa meski kemarahan sudah kita tampakkan, tapi hasilnya anak-anak tetap tidak berubah? Ternyata anak-anak tidak suka dengan paksaan dan ancaman. Maka solusinya kita harus memberikan wacana agar anak-anak berpikir solusinya sendiri. Cobalah untuk menunggu sejenak dengan bersabar maka anak-anak akan mengambil keputusan sendiri dengan benar dan dengan kesadaran penuh.
Oke, selamat mencoba walau kadang memang berat :)             

#Mempraktekkan buku BBA
Pekalongan, 14 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar