Jumat, 31 Oktober 2014

Mendidik dengan Hati



Mendidik dengan Hati
Kukkuruyyukkk…!!!
Suara kokok ayam bersahut-sahutan menandakan hari sudah pagi. Aku tergagap. "Subhanallah, sudah pagi.." batinku. Pikirku langsung tertuju pada tanggung jawabku. Mengajar. Tidurku yang larut malam karena membuat bahan ajar, berakibat pada bangun tidurku agak kesiangan. Aku segera bangun dan menyiapkan semuanya. Aku tak ingin menjumpai murid-muridku dalam keadaan tidak siap. Tak hanya siap materi, aku harus siap kasih sayang dan senyuman. Orang bilang ini mudah, tapi coba kita lihat prakteknya. Tak semua guru bisa belajar mendidik lewat hatinya, bahkan guru yang sudah mengajar bertahun-tahun sekalipun.
Tepat pukul setengah tujuh pagi kupacu motor bututku di jalanan beraspal. Seperti biasa, SDIT Wahdatul Ummah yang letaknya di Kota Metro, menjadi tujuan utamaku. Sekolah dengan area sempit dan bertingkat tiga ini adalah tempatku mengabdi di tiga bulan terakhir ini. Yah, aku terbilang masih guru baru disini. Namun, kedudukanku sebagai guru baru tidak membuatku merasa minder.
Sejak mengabdi di SDIT ini, aku mulai memantapkan diri menekuni profesiku. Sebuah tanggung jawab besar dan berat, satu persatu mulai kuangkat, bahkan tiga perempat waktuku habis di sekolah ini. Menjadi wali kelas, menjadi guru mata pelajaran, menjadi pembina ekskul dan mentoring, semuanya menjadi tantangan tersendiri buatku.
Hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai ditempat mengajarku. Begitu sampai disekolah, anak-anak kelas 1 yang ada disekitar gerbang masuk langsung memanggil namaku. "Bu Puji……, Bu Puji……" teriak mereka dengan wajah berseri-seri. Oh indahnya, ada yang bergetar di hati kala mendengar mereka menyebut namaku. Tak kalah semangat dari anak-anak itu, kujawab sapaan mereka dengan bahasa resmi mengajarku, yaitu bahasa arab. "Shobahul Khoir..!" serempak mereka menjawab dengan malu-malu, "Shobahun nuuurr!"
"Anak-anak kelas 1 sudah kenal dengan Ibu ya?" Tanya Bu Yayi yang menyalamiku di gerbang masuk.
"Iya Bu, kan saya mengajar bahasa arab di kelas 1," jawabku sambil tersenyum.
"Oh iya, Bu," jawabnya kemudian. Aku dan Pak Feri adalah satu-satunya guru mata pelajaran yang mengajar di kelas 1. Pak Feri sebagai guru olahraga dan aku sebagai guru bahasa arab. Jadi wajar ketika mereka melihatku atau melihat Pak Feri, mereka akan bersemangat memanggil nama kami. Kadang aku dan guru kelas mereka terheran-heran, karena anak-anak kelas 1 An-Naba memanggilku dengan nama "Bu pijet-pijet". Panggilan godaan mereka untukku ini selalu membuatku tertawa. Yang lebih membuatku bahagia adalah ketika aku mengajar bahasa arab di kelas 1 An-Nazi'at, karena begitu aku masuk kelas, mereka akan bersorak gembira menyambut kedatanganku. Rasa capek yang kadang kurasakan, seketika langsung sirna begitu melihat semangat dan senyum mereka.
Tepat pukul 07:15 WIB bel masuk berbunyi. Anak-anak segera berbaris rapi membaca ikrar dan janji pelajar SDIT Wahdatul Ummah. Setelah itu mereka bersalaman dengan wali kelas yang menyambut di depan pintu kelas masing-masing. Aku yang menjadi wali kelas 4 Al-Mulk juga berdiri disamping pintu kelas, membariskan mereka yang belum tertib, mengecek kondisi kelas, mengecek kehadiran mereka, juga menerima keluh kesah cerita yang mereka rasakan sehari-hari. 
"Ibu, masa hari ini Bima nggak piket," teriak Hilmi. "Piket yeeee… kemarin!" jawab Bima tidak mau kalah.
"Ibu, lihat Timnas tadi malam enggak Bu? masa kalah, Bu.. Evan dimas jagoan Bu Puji kalah" kata Habib menggebu-gebu. "Iya, masak kalah, Bu…" sahut Iqbal juga tak mau kalah.
"Ibu, kemarin lihat tiban enggak, Bu?" tanya Fauzia bersemangat. "Tiban itu apa, Fau?" tanyaku penasaran. "Itu lho Bu, adat orang jawa yang minta turun hujan," jawab Fauzia.
Masih banyak lagi celotehan anak-anak begitu menyambut kedatanganku di kelas. Kalau sudah begini, kelas pasti ramai akibat celotehan mereka. Dan aku harus bisa bertindak bijaksana menengahi dan menjawab setiap rasa penasaran mereka. Sebagai wali kelas, tak hanya celotehan atau masalah kecil seperti itu yang kuhadapi. Beberapa ulah mereka kadang membuat emosiku menjadi tingkat tinggi.
Hari itu benar-benar menjadi hari yang berbeda. Siang jam setengah 1, kala rasa capek dan emosiku benar-benar memuncak, aku harus dihadiahi sesuatu yang tidak kusuka. Ya, aku baru selesai mengajar dan berniat ingin istirahat sebentar karena capek, Alma murid kelasku lari tergopoh-gopoh menemuiku. Dan apa yang terjadi?
            "Ibu, kelas kita baunya amis lho Bu…" katanya terengah-engah.
            "Kenapa?" tanyaku santai. Aku yang kelelahan tak lagi berniat menanggapi pengaduannya.
            "Syafiq, Dzakwan, sama Alfi lempar-lemparan telor Bu. Kelas kita jadi bau banget, pengen muntah pokoknya Bu.." katanya menggebu-gebu.
Aku yang mendengar pengaduannya menjadi geram. Segera aku beranjak dari tempat dudukku, tanpa menghiraukan lagi rasa capek tadi, aku berjalan menuju kelas dengan amarah yang hampir di ubun-ubun. Benar saja, begitu sampai dikelas baunya sudah luar biasa amis. Kertas-kertas dan wadah makanan berserakan di lantai. Kucoba untuk menahan amarah. Kusuruh mereka semua masuk kelas, mereka protes keras karena tidak tahan bau. Aku tak perduli dengan protes mereka, itulah konsekuensi yang harus mereka pertanggungjawabkan.
Setelah mereka duduk, mereka tak lagi bersuara atau protes. Mereka bungkam melihat wajahku yang merah padam. Aku minta alasan mereka kenapa melakukan itu. Kutanya satu persatu, 3 orang muridku yang merasa bersalah tadi tertunduk pilu. Mereka menunduk berkaca-kaca. Aku bukan seorang guru yang tega menghukum mereka begitu saja, apalagi dengan hukuman fisik. Aku ingin mereka jera bukan karena beratnya hukuman yang mereka terima, tetapi kesadaran mereka sendiri yang membuatnya berubah.
Sejenak setelah emosiku dan mereka mereda, kuminta mereka semua untuk mengepel kelas. Butuh waktu 30 menit menunggu kelas kembali bersih. Setelah mereka kembali duduk, aku meminta mereka untuk beristighfar dan membuat surat pernyataan penyesalan.      
"Bu puji, saya tidak akan mengulangi kesalahan yang diperbuat oleh saya, maupun teman-teman. Saya akan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Maukah Bu Puji memaafkan kesalahan kita semua?" Ttd Syifa.
"Saya berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi. Dan saya anggap ini yang pertama dan terakhir kalinya. Jika mengulanginya lagi saya akan istighfar 100x." Ttd. Nabila.
"Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang tidak baik, kalau saya mengulanginya saya akan: Istighfar 50x, membersihkan toilet, puasa sunah 3x, dihukum guru dan teman-teman." Ttd. Yaya.
"Saya tidak akan mengulangi lagi, padahal saya tidak melempar telor." Ttd. Atawi.
"Saya minta maaf sekali pada bu puji dan guru SDIT Wahdatul Ummah. Saya sangat menyesal karena sudah membuat bu puji sedih. Saya tahu hati bu puji sedih karena melihat siswa-siswi bu puji sangat nakal dan bandel. Saya tau perasaan bu puji sekarang masih sedih kan, maaf ya bu kalau saya nakal/bandel!" Ttd Diva.
Setiap kali membaca surat pernyataan mereka, aku tersenyum sendiri. Unik, lucu, dan manjur. Terbukti setelah mereka menulis surat itu, mereka bisa bersikap lebih baik, bahkan 1 bulan setelah kejadian tersebut tak ada kekacauan yang terjadi.
                                                            *****
Selain menjadi walikelas dan guru bahasa arab kelas 1, aku juga menjadi guru pendidikan agama dan budi pekerti kelas 4 dan 5. Butuh persiapan matang dan kreatif untuk mengajar anak-anak kelas atas ini. Beberapa diantara anak-anak itu ada yang susah menerima pelajaran. Jadi, kolaborasi pelajaran kreatif dengan kurikulum 2013 sangat dibutuhkan.
"Assalamu'alaikum…." sapaku pada anak-anak kelas 4 Al-Qolam, ketika aku masuk kelas. Senyum mengembangku seketika berubah saat melihat mereka justru asyik bermain stik.
"Hemmm.. hemmm.." Aku menggelengkan kepala. "Ayo silahkan kembali ketempat duduk masing-masing. Azizi, apa kabar? Caesar, apa kabar? Abang Najmi apa kabar?" kusapa khusus untuk ketiga anak ini. Aku yakin sapaan khusus bisa menarik mereka suka pada pelajaranku.
"Oke.. hari ini, kita akan belajar PAI di luar kelas, kita akan belajar mengenal Allah melalui alam semesta," kataku bersemangat.
"Horeeee.." teriak mereka girang. Kelas kembali berubah gaduh karena kegembiraan mereka.
"Kita ke sawah ya, Bu?" Teriak Caesar. Aku tersenyum mengangguk.
"Sekarang tolong siapkan alat tulis seperlunya saja, tidak usah bawa tas. Boleh bawa air minum kalau haus. Dan.. tolong perhatikan! Ada beberapa hal yang harus kita lakukan. Pertama, harus menjaga adab-adab kita kepada orang yang kita temui di jalan. Juga menjaga adab-adab kita pada hewan dan tumbuhan. Kedua, berjalan di lajur kiri dan tidak main-main di jalan. Ketiga, sebelum berangkat kita berdo'a dulu. Yuk, baca basmalah dan Al-Fatihah bersama…" Bla..Bla..Bla..
Hamparan sawah yang membentang, kicauan burung-burung yang berdendang, serta semilir angin yang menyejukkan, membuat pembelajaran diluar kelas benar-benar menyenangkan.
"Adanya alam semesta, termasuk bumi yang kita huni sekarang ini adalah bukti adanya Allah. Ada makhuk hidup dan ada benda mati. Anak-anak, Semua itu siapa yang menciptakan? Iya, Allah.. Nah, sekarang silahkan tulis makhluk hidup dan benda-benda yang kalian lihat sesuai dengan kategori jenisnya masing-masing…"
Anak-anak begitu bersemangat belajar di sawah. Mereka bersegera mengambil alat tulis. Ya, mereka seperti burung yang terbebas dari sangkarnya. Keceriaan itu terpancar dari raut muka polos mereka. 2 jam pelajaran yang biasanya terasa lama, kini rasanya begitu cepat. Bahkan ketika ku ajak pulang, anak-anak justru ingin tetap belajar.
                                                *****
Braaaakkkkk…..!!!!!
Tumpukan kertas-kertas jatuh berserakan dari atas meja tak jauh dari tempatku duduk. Semuanya berhamburan memenuhi lantai putih yang ada di pojok perpustakaan sekolahku. Aku terbengong. Kulihat mulai dari lembaran kertas rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), silabus, materi pembelajaran hingga soal-soal latihan semuanya berantakan menjadi satu. Ups, ternyata ada bu yeni disitu. Kuperhatikan raut mukanya, beliau tampak begitu kesal. Dengan hati yang masgul ia pungut lembaran kertas itu satu persatu. Aku yang kebetulan ada disampingnya justru tertawa.
"Kenapa bu, kok kelihatan Bete gitu?" Tanyaku padanya.
"Kesel bu.. capek, pusing saya!" jawabnya sekenanya.
"Kenapa, masalah anak-anak ya?" Aku  penasaran.
Ia hanya mengangkat bahu dengan raut muka yang makin cemberut. Aku yang melihat ekspresinya begitu justru tertawa. Bukan bermaksud menggodanya, akan tetapi aku hanya merasa miris melihatnya terpuruk dengan rasa pesimisnya. Ya, sejak pertama kali bertemu dengannya, yang kudengar darinya adalah rasa pesimis yang bertumpuk-tumpuk. "Si ini memang anaknya begitu bu, sudah diingatkan berkali-kali masih tetap sama, pusing saya bu" atau katanya "Kelas saya itu paling parah, anaknya bandel-bandel dan cuek."  Atau katanya "Ya gimana lho bu, tugas banyaknya segini puyeng saya mau dikerjakan yang mana dulu," Itulah sebagian kata-kata mengeluhnya yang sering kudengar.
"Sabar bu, proses mengajar itu luar biasa. Rasakan nikmatnya itu pelan-pelan seperti makan permen. Maka semakin lama kita merasakannya akan semakin nikmat saja."
Beliau tersenyum simpul. Aku pun ikut tersenyum. Aku yakin, bu yeni yang sudah lama mengajar pasti punya pengalaman yang lebih dariku, hanya saja praktek di lapangan itu yang susah dan menuntut kesabaran yang ekstra.
            Trrrruuutttt… (Hape-ku tiba-tiba bergetar)   
Kuraih hape yang bunyi barusan dari saku bajuku.
From: ibu iqbal       
Bu, tolong sampaikan ke iqbal hari ini saya tidak bisa menjemputnya, jadi iqbal pulang bareng azizi. terimakasih
Aku kembali tersenyum. Hemmm, ternyata dari ibunya iqbal, wali murid siswa kelasku. Kututup sms itu sebelum akhirnya kubalas dengan santun "Iya bu". Interaksi yang coba kubangun dengan wali murid beberapa minggu lalu kini berbuah. Aku dan wali murid kini saling menjalin komunikasi. Bahkan beberapa dari mereka kadang menceritakan permasalahan anak-anaknya untuk sama-sama mencari jalan keluar.
23 tahun kini usiaku, aku belajar untuk semakin dewasa. Aku merenung. Aku masih begitu ingat 13 tahun lalu, ketika orang tuaku bertanya apa cita-citaku. Aku menjawabnya dengan cepat: Guru. Tanpa kutahu apa makna sebenarnya dari kata itu, aku menjawabnya dengan cepat. Ya, secepat waktu ini membawaku terjun ke dunia itu. Dunia orang dewasa, aku menyebutnya. Membimbing, mengajar, dan mendidik. Aku tersenyum mengingat semua itu. Bu yeni yang melihatku tiba-tiba tersenyum lantas terheran-heran.
"kenapa bu kok senyum-senyum sendiri?"
"Ini bu, wali murid saya ada yang pesan sesuatu untuk disampaikan kepada anaknya". Jawabku masih tetap tersenyum.
"ibu enak ya, wali murid pada perduli dengan anaknya. Dikelasku boro-boro bu, buku penghubung saja enggak pernah diisi." Katanya membandingkan lagi.
"Sepertinya kita memang harus mulai bangun komunikasi dengan orang tua anak-anak bu!" Kataku sebelum beranjak pergi mencari iqbal.
                                                *****
Rasanya lelah. Kusandarkan tubuhku dikursi tua kecoklatan. Kuambil nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan secara perlahan. Kini sedikit tenang. Kupandangi isi kamarku. Dipojok sebelah kanan tempatku duduk kini, ada ranjang yang kokoh, asli buatan tangan ayahku. Diatasnya bantal dan selimut tertata apik. Sebelah kiriku ada lemari kayu dengan tumpukan buku-buku yang berjajar rapi. Hobiku suka membaca, menginspirasiku membuat perpustakaan kecil. Lalu dibawahnya, ada peta hidup selama setahun yang kutempel tepat diatas ranjangku. Disampingnya ada 'pohon mimpi' untuk harapan yang ingin kucapai. Poster kaligrafi, gambar conan kesukaanku, dan beberapa jadwal agenda kedepan ikut menghiasi kamarku.
Pandanganku kembali terpaku pada pohon mimpi. Aku berjalan mendekatinya. Kusentuh pelan, kurasakan tintanya yang kini hampir memudar. Kuamati dengan seksama. Aku bergetar membacanya.

Penulis produktif, Menulis bersama pengarang best seller, Menerbitkan karya terbaik, Guru berprestasi dan dicintai anak didik, Pandai berbahasa arab, Direktur lembaga belajar, Beasiswa S2, Keliling Indonesia gratis, …………dll.

Aku terpaku. Ku eja sekali lagi.. Guru berprestasi dan dicintai anak didik. 
Kurasakan Kristal bening keluar dari kelopak mataku. Jujur, aku takut tak bisa melakukannya. Tantangan menjadi seorang guru kuakui memang berat. Tantangan awal yang kuhadapi adalah menyelesaikan setiap problem yang terjadi pada anak-anak. Perkembangan teknologi dan pergaulan yang tak terbatas, menuntut perhatian lebih akan perkembangan mereka. Sebagai seorang guru, aku merasa bertanggung jawab untuk membimbingnya beranjak dewasa.
Tantangan kedua adalah tantangan materi. Tak banyak guru yang mau istiqomah berjuang di bidang pendidikan ini. Dengan dalil rendahnya honor yang mereka terima, membuat mereka tega meninggalkan anak-anak yang butuh pendidikan.
Aku teringat sahabatku SMA, fanis namanya. Sejak lulus SMA, ia tak pernah bermimpi atau bercita-cita menjadi guru. Berada dalam rengkuhan orang tuanyalah yang telah menuntutnya mengambil jurusan pendidikan ini. Harapan orang tuanya, ia bisa menjadi PNS. Keinginan itulah yang selalu menghantuinya. Berbekal kertas ijazahnya, ia nekat mendaftar. Tanpa pernah terjun mengajar, ia hanya focus untuk mendaftar PNS. Naasnya universitas tempatnya kuliyah belum diakui ijazah pendidikannya, sehingga ia tidak bisa ikut mendaftar CPNS. Karena kecewa, akhirnya ia merantau ke bandung mencari pekerjaan lain.
Hatiku kembali bergetar. Jangan-jangan aktivitas mengajarku saat ini belum benar-benar dari hati. Atau pengabdianku selama ini hanya dipacu untuk mendapatkan selembar materi. Jika karena itu, betapa kejamnya diriku?
                                                #SELESAI#



Tidak ada komentar:

Posting Komentar