Selasa, 09 Juni 2015

BUKAN SILUET MIMPI



Kupandangi buku diary yang barusan kubaca.
Batinku galau!
05/01/2012                              16:38:15
"Kamu punya bakat nulis besar, coba kritik apa yang ada, beri solusi, lalu kirim!"
                                    
23/10/2013                              18:15:24            
"Ayo nulis dek, abang pengen baca tulisan puji!"

Begitulah kalimat yang tertera disana. 
Huff, aku hampir gila membaca kata-kata itu. Seperti terekam dalam memori dan siap meledak jika tak segera kurealisasikan. Mungkin kata-kata itu memang sederhana, tapi bagiku menulis itu luar biasa, butuh proses dan perencanaan yang matang. Apalagi otak kiriku cenderung lebih banyak bekerja, otomatis apa yang akan terjadi padaku harus terencana dengan matang. Parahnya, karena kebiasaan otak kiriku bekerja, aku selalu bingung ketika memulai menulis. Setiap kata yang lahir, selalu kupertimbangkan cocok tidaknya. Karena terlalu banyak pertimbangan, kadang aku lupa dengan alur dan karakter yang akan kubangun. Alhasil, tulisan mandeg lagi.
Kupandangi lagi tulisan dibuku diary itu, bagiku kata-katanya sangat bermakna, sayang jika tak kuabadikan. Awalnya aku hanya menulis pengalaman, mimpi, harapan, tapi ternyata sms pun membuatku tertarik untuk menuliskannya. Dan kata-kata dalam buku diary itu, sengaja kutulis dari sms yang masuk ke inbox hp, kutulis lengkap beserta tanggal dan waktu. Tujuannya hanya satu: Spirit!
Rasanya baru kemarin aku menulis kalimat itu. Tapi ternyata hampir satu tahun tulisan itu bertengger disana. Dan selama itu, aku tak pernah menghasilkan tulisan yang berarti.
Oh tidak! Rasanya aku tak kuat lagi. Aku malu, atas mimpi-mimpiku yang mungkin terlampau tinggi. Merealisasikan mimpi. Ternyata memang susah sekali.
Rasanya lelah, kusandarkan tubuhku dikursi tua yang berwarna kecoklatan. Kuambil nafas dalam-dalam, lalu kuhembuskan secara perlahan. Rasanya sedikit tenang. Kupandangi isi kamarku. Dipojok sebelah kanan tempatku duduk kini, ada ranjang yang kokoh, asli buatan tangan ayahku. Diatasnya bantal dan selimut tertata apik. Sebelah kiriku ada lemari kayu dengan tumpukan buku-buku yang berjajar rapi. Hobiku yang memang suka membaca, menginspirasiku membuat perpustakaan kecil. Tak ketinggalan, tembok disekeliling kamarku yang putih itu, penuh terisi gambar-gambar yang ku mau. Ada bendera kebesaran dari organisasi kampusku, bendera yang sengaja kuambil untuk kenang-kenangan selama hidupku. Aku tahu, jika teman-teman masuk kekamarku, mereka pasti protes. Bendera yang biasanya untuk aksi, kini bertengger dikamarku. Konyol, batinku geli. Lalu dibawahnya, ada peta hidup selama setahun yang kutempel tepat diatas ranjangku. Disampingnya ada 'pohon mimpi' untuk harapan yang ingin kucapai. Poster kaligrafi, gambar conan kesukaanku, dan beberapa jadwal agenda kedepan ikut menghiasi kamarku.
Pandanganku kembali terpaku pada pohon mimpi. Aku berjalan mendekatinya. Kusentuh pelan, kurasakan tintanya yang kini hampir memudar. Kuamati dengan seksama. Aku bergetar membacanya.
Penulis produktif, Menulis bersama pengarang best seller, Menerbitkan karya terbaik, Guru umat, Pandai berbahasa arab, Punya lembaga belajar, Sukses aktivis dan akademik, Mempersembahkan prestasi terbaik untuk ayah-bunda, Memiliki toko buku, Beasiswa keluar negeri, Keliling Indonesia gratis, Jaringan luas, Ipk min 3,00…………
Aku terpaku. Tak kuat membaca selanjutnya. Baru beberapa yang kulingkari. Itu berarti, baru beberapa yang sudah nyata.
Kurasakan Kristal bening keluar dari kelopak mataku. Aku tak percaya, aku berada dalam mimpiku, atau mimpi yang berada dalam diriku?
**dream**
Trrreeettt….trrreeeettt…. hape-ku bergetar.
Bergegas kuraih hape itu. Ada sms ternyata. Kubuka dengan segera.

23/10/2013                              08:51:37
"Hoho belum rezeki abang masuk Koran lagi berarti harus tulisan puji, dkk yang masuk Koran, sebab Koran mungkin agak bosan dengan tulisan abang"

Deggg..!!
Kata yang sederhana, tapi memompa semangatku. Berarti harus opini puji, dkk yang masuk Koran. Berkali-kali aku terngiang kalimat itu. Aku sadar, aku memang harus menulis, harus kupaksa. Jatuh bangun kufokuskan diriku untuk menulis. Tapi sayang, begitu aku berada didepan layar notebook-ku, ide yang awalnya kudapatkan malah menghilang.
Ingin sekali aku berteriak pada tuhan, bertanya padanya kenapa aku susah menulis. Tapi aku tak kuasa, mungkin aku yang harus banyak belajar dari-Nya, batinku berbisik.
Sempat terbersit, kalau menulis itu hanya untuk yang punya bakat. Tapi ternyata, Gola Gong menyadarkan ku lewat bukunya yang kubaca. Menulis itu bukan bakat, tapi usaha yang terus diasah. Menulis juga bukan pekerjaan para dewa, karena semua orang juga bisa menulis. Tapi tetap ada syaratnya, untuk menjadi penulis itu jiwa dan pikiran harus terisi penuh oleh sumber bacaan dan pengalaman.
"Pu… udah bel! Melamun ya?"
            Aku tergagap. Fitri yang melihatku tergagap jadi memandangiku lekat. Ada nuansa penasaran pada wajahnya yang putih itu.
            "Ada apa? Apa anak-anak ada yang bandel?" ujarnya kemudian. Fitri adalah sahabatku yang sama-sama mengajar di sekolah Es-Em-Pe.
            Aku tersenyum. Kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabatku ini memancar dari balik jilbab biru yang dipakainya.
            "Oh.. enggak ada kok, fit. Semua baik-baik saja. Justru aku sekarang yang merindukan anak-anak, bagiku mereka adalah guru kehidupanku."
Sahabatku itu tersenyum. "Oh, ya sudah kalau baik-baik saja!" katanya kemudian.
            Aku tersenyum meyakinkannya. Berharap bisa mengurangi beban dihatiku, aku masuk kelas. Yah kini sekolah, buku pelajaran, murid, silabus dan rpp menjadi bagian dari aktivitas keseharianku. Sambil berdiri dari tempatku duduk, kuambil beberapa buku yang kuperlukan. Kusapa beberapa guru yang ada di kantor, sebelum akhirnya aku berlalu.
            Kudapati kelas dalam keadaan kacau. Suara gaduh teriakan anak-anak terdengar sampai radius duapuluh meter, bangku tak beraturan, kertas berserakan. Oh, anak-anak ini.
            "Aming bu, yang membuat kelas begini…"
            Agung, si ketua kelas membela diri. Aming yang tertuduh tidak terima.
"Bukan saya lho bu, teman-teman yang lain juga."
Kubuat wajahku terlihat setegas mungkin agar mereka tak berani. Benar, mereka terdiam tapi itu tak berlangsung lama. Kembali mereka gaduh lagi. Ternyata beginilah menjadi guru, belajar banyak dari anak-anak. Belajar memberi teladan dan belajar arti kesabaran.
Kelas tetap tak bisa kukendalikan.
Efektivitas waktu dan tenaga. Akhirnya, Kuhukum mereka. Tanpa terkecuali, kuhukum mereka semua untuk ngepel kelas dan kamar mandi. Mereka protes keras. Aming shan-shan, menjadi kordinator yang paling gigih menentang. Suara khasnya yang cetar membahana, ditambah dengan sikapnya yang sedikit tomboy, urakan, cuek serta berani membuatku keki tingkat tinggi. Tak hanya sekali, aku sering dibuatnya kalah. Semua jurus dan metode yang pernah kupelajari dalam mengelola kelas, seolah-olah tak ada yang manjur untuk menghadapi anak ini. Mungkin ini salah satu yang membuat diriku kesal padanya. Otomatis namanya pun masuk kedalam hatiku menjadi salah satu daftar nama siswa bandel dikelas.
            Hari ini aku semakin lelah, merasa kalah tak bisa produktif menulis, dan merasa kalah tak bisa mengelola kelas.
            Ya, anganku selama ini mungkin hanya jadi mimpi. Sekali lagi hanya siluet mimpi.
**dream**
            Sendirian dikamar, aku menulis seperti orang kesetanan. Perasaan batin yang mengiris tadi siang membuatku ingin menumpahkan semuanya dalam lembaran kertas kosong. Dalam sekejap, bidang kertas putih itu terisi penuh oleh tulisan tanganku, lalu lembar kedua, ketiga lalu seterusnya. Sambil menulis tak jarang air mataku ikut terselinap, meninggalkan jejak tinta yang mengores kertas. Air mata apa ini, aku tak perduli.
            Kutulis, tulis, dan terus menulis, sampai akhirnya tangan dan tenagaku melemah.
Taakkk..
Pulpenku jatuh, aku tak kuat lagi memegangnya.
Badanku bergoyang menahan rasa pilu. Kutumpahkan semua rasa, sampai aku merasakan keadaan yang lebih baik.
Baru kusadar, aku telah menulis banyak sekali. Ya, aku benar-benar sudah menulis.
Kurapikan tulisan itu, ku edit sekali lagi. Lalu kusimpan dalam folder yang kuberi nama "Kepingan Puzzle Jiwaku". Lalu kusambungkan notebook-ku dengan internet. Kucari media online yang menerima kiriman tulisan. Ketemu. Lalu terakhir, ku kirim dengan penuh cinta dan semangat.
Aku hanya yakin. Ini bukan siluet mimpi.     
**dream**
Kukuruyuk...........kukuruyuk...!”              
Alarm ku yang kupasang mirip suara ayam berkokok itu berbunyi. Aku menguap masih menahan kantuk. Kulirik jam diatas kamar tidurku, pukul  03.35. Aku terbangun untuk menunaikan aktifitas rutinku: Shalat Malam. Berharap apa yang kuinginkan, akan segera terwujud.
            Bayangan ayah, dengan penampilannya yang sederhana berkelebat. Rasanya baru kemarin ia menguatkan semangatku, tapi ternyata sudah 8 bulan ia meninggalkanku untuk selamanya. Wajahnya yang keriput kini seolah tersenyum padaku. Dari lisannya, samar-samar kudengar ia berbisik, dan hanya ditunjukkan padaku.
            Kau pasti bisa meraih mimpimu, nak. Yakin dan tawakal.
            "Belilah computer, kalau itu bisa menunjangmu lebih banyak menulis"
Komentarnya suatu hari padaku. Padahal, aku tahu ia tak pernah mengerti tentang tulis menulis. Tapi, ayah selalu menghargai keinginanku. Di mata beliau, mimpiku adalah mimpinya. Jika beliau ada, seluruh hidupnya pasti akan dikorbankan untuk diriku.
Aku bersimpuh pada yang maha kuasa sampai waktu subuh tiba.
Tepat jam 07.00 hapeku berdering. “Tirurit...tirurit”
Hape-ku yang bergetar itu memberikan tanda bahwa ada pesan baru di inbox. Kuputar badan dan kembali meraih hape itu.  Pesan dari abangku.
            Alhamdulillah.. abang seneng. Tulisan adek dimuat hari ini. Semoga jadi awalan yang terus berlanjut dengan tulisan-tulisan super berikutnya, dek. Barakallah ya..

Hah....,deg....!!      
Aku langsung shock membaca sms itu. Ini beneran atau sekedar keisengan abangku? aku tak percaya.  Aku baca sekali lagi. Hah.....?? ini asli, bukan iseng, kata hatiku meyakinkan diriku sendiri.
Aku tersadar. Ini nyata. Nyata sekali. Dan ini, bukan siluet mimpi! Hari ini dan 5 tahun lagi.
**selesai**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar