Rute perjalanan mengajarku kini berbeda. Ya, Hari ini aku telah resmi
menjadi guru di sekolah dasar yang baru, di kota metro. SDIT Wahdatul Ummah,
orang-orang menyebutnya. Banyak hal yang memaksa diriku pindah ke sekolah itu,
namun yang terpenting niatan ini tidak keluar dari niatan suci, mengharap ridho
Allah.
Kini tak lagi kujumpai deretan padi yang
menguning, tanaman jagung manis yang buahnya mengelitik lidah berliur, atau
jalanan terjal yang menyisakan perasaan was-was. Yang kujumpai kini deretan
rumah-rumah mewah, dan toko-toko beraneka macam dipinggir jalan. Kantor-kantor
yang berdiri kekar dan jalan-jalan yang lalu lalang ramai kendaraan.
Dengan rasa yang berbeda, pagi ini kumulai
hariku dengan basmalah dan syukur. Alhamdulillah, kesan pertama begitu indah.
Bertemu guru-guru luar biasa dengan misi yang sama, berkenalan dengan
siswa-siswi yang semangat belajarnya membaja. Sungguh, tak ada rasa yang lebih
indah dari hari ini.
4 tahun sejak kuliah, aku mulai memantapkan diri
menekuni profesi ini. Sebuah tanggung jawab besar dan berat, satu persatu mulai
kuangkat. Seperti kata seorang penyair, "Belajarlah, karena
tidaklah seseorang itu dilahirkan dalam keadaan berilmu". Yah benar, di
sekolah baru ini aku memang harus banyak belajar. Belajar bersinergi, belajar
memikul amanah baru, dan belajar menjadi sosok panutan dari siswa-siswiku.
Konsekuensi amanah yang kupikul membuat
tiga perempat waktuku habis di sekolah ini. Menjadi walikelas, menjadi guru
mata pelajaran, menjadi Pembina eskul dan mentoring, semuanya sebagai tantangan
tersendiri buatku. Bermacam-macam masalah sedikit demi sedikit membuatku
bertambah dewasa. Setiap hari ada saja masalah yang kuhadapi, kadang ada wali
murid yang protes karena pembelajaran, kadang ulah anak-anak yang keterlaluan,
dan kadang respon anak-anak yang kurang saat belajar. Semua itu menjadi cerita
sendiri yang mengasyikkan.
Tantangan menjadi seorang guru kuakui
memang berat. Tantangan awal yang kuhadapi adalah menyelesaikan setiap problem
yang terjadi pada anak-anak. Perkembangan teknologi dan pergaulan yang tak
terbatas, menuntut perhatian lebih akan perkembangan mereka. Sebagai seorang
guru, aku merasa bertanggung jawab untuk membimbingnya beranjak dewasa.
Tantangan kedua adalah tantangan materi. Tak banyak guru yang mau istiqomah
berjuang di bidang pendidikan ini. Dengan dalil rendahnya honor yang mereka
terima, membuat mereka tega meninggalkan anak-anak yang butuh pendidikan.
Aku teringat sahabatku SMA, fanis namanya.
Sejak lulus SMA, ia tak pernah bermimpi atau bercita-cita menjadi guru. Berada
dalam rengkuhan orang tuanyalah yang telah menuntutnya mengambil jurusan
pendidikan ini. Harapan orang tuanya, ia bisa menjadi PNS. Niat itulah yang
selalu menghantuinya. Berbekal kertas ijazahnya, ia nekat mendaftar. Tanpa pernah
terjun mengajar, ia hanya focus untuk mendaftar PNS. Naasnya
universitas tempatnya kuliyah belum diakui ijazah pendidikannya, sehingga ia
tidak bisa ikut mendaftar CPNS. Karena kecewa, akhirnya ia merantau ke bandung
mencari pekerjaan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar