Senin, 24 November 2014

Rasa Yang Berbeda




Rute perjalanan mengajarku  kini berbeda. Ya, Hari ini aku telah resmi menjadi guru di sekolah dasar yang baru, di kota metro. SDIT Wahdatul Ummah, orang-orang menyebutnya. Banyak hal yang memaksa diriku pindah ke sekolah itu, namun yang terpenting niatan ini tidak keluar dari niatan suci, mengharap ridho Allah.
Kini tak lagi kujumpai deretan padi yang menguning, tanaman jagung manis yang buahnya mengelitik lidah berliur, atau jalanan terjal yang menyisakan perasaan was-was. Yang kujumpai kini deretan rumah-rumah mewah, dan toko-toko beraneka macam dipinggir jalan. Kantor-kantor yang berdiri kekar dan jalan-jalan yang lalu lalang ramai kendaraan.
Dengan rasa yang berbeda, pagi ini kumulai hariku dengan basmalah dan syukur. Alhamdulillah, kesan pertama begitu indah. Bertemu guru-guru luar biasa dengan misi yang sama, berkenalan dengan siswa-siswi yang semangat belajarnya membaja. Sungguh, tak ada rasa yang lebih indah dari hari ini.
4 tahun sejak kuliah, aku mulai memantapkan diri menekuni profesi ini. Sebuah tanggung jawab besar dan berat, satu persatu mulai kuangkat. Seperti kata seorang penyair, "Belajarlah, karena tidaklah seseorang itu dilahirkan dalam keadaan berilmu". Yah benar, di sekolah baru ini aku memang harus banyak belajar. Belajar bersinergi, belajar memikul amanah baru, dan belajar menjadi sosok panutan dari siswa-siswiku.
Konsekuensi amanah yang kupikul membuat tiga perempat waktuku habis di sekolah ini. Menjadi walikelas, menjadi guru mata pelajaran, menjadi Pembina eskul dan mentoring, semuanya sebagai tantangan tersendiri buatku. Bermacam-macam masalah sedikit demi sedikit membuatku bertambah dewasa. Setiap hari ada saja masalah yang kuhadapi, kadang ada wali murid yang protes karena pembelajaran, kadang ulah anak-anak yang keterlaluan, dan kadang respon anak-anak yang kurang saat belajar. Semua itu menjadi cerita sendiri yang mengasyikkan.
Tantangan menjadi seorang guru kuakui memang berat. Tantangan awal yang kuhadapi adalah menyelesaikan setiap problem yang terjadi pada anak-anak. Perkembangan teknologi dan pergaulan yang tak terbatas, menuntut perhatian lebih akan perkembangan mereka. Sebagai seorang guru, aku merasa bertanggung jawab untuk membimbingnya beranjak dewasa. Tantangan kedua adalah tantangan materi. Tak banyak guru yang mau istiqomah berjuang di bidang pendidikan ini. Dengan dalil rendahnya honor yang mereka terima, membuat mereka tega meninggalkan anak-anak yang butuh pendidikan.
Aku teringat sahabatku SMA, fanis namanya. Sejak lulus SMA, ia tak pernah bermimpi atau bercita-cita menjadi guru. Berada dalam rengkuhan orang tuanyalah yang telah menuntutnya mengambil jurusan pendidikan ini. Harapan orang tuanya, ia bisa menjadi PNS. Niat itulah yang selalu menghantuinya. Berbekal kertas ijazahnya, ia nekat mendaftar. Tanpa pernah terjun mengajar, ia hanya focus untuk mendaftar PNS. Naasnya universitas tempatnya kuliyah belum diakui ijazah pendidikannya, sehingga ia tidak bisa ikut mendaftar CPNS. Karena kecewa, akhirnya ia merantau ke bandung mencari pekerjaan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar